Hari berbilang berganti bulan, bulan pun berbilang berganti tahun, masih ingatkah kau saudariku 12 tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu-abu..?
Bersama kita susuri lorong-lorong sekolah dengan segenap semangat, senyum terkembang penuh simpati pada setiap orang…
Sapaan salam senantiasa terurai, jilbab tebal lebar terkibar, dan sesekali kita senantiasa merapikan saat angin bersegera menerpa tubuh kita, takut tersingkap lekuk tubuh yang memang sedikit Nampak karena seragam mengharuskan berikat pinggang.
Cukup dinding-dinding kelas dan mushalla menjadi saksi keteguhan kita dalam memperjuangkan jilbab syar’i bahkan ketika peraturan saat itu siswa perempuan harus menampakkan telinga dalam foto ijazahnya…
Tak mudah bagi kita memperjuangkannya saat itu, banyak jam pelajaran terbuang hanya gara-gara diinterogasi pihak sekolah karena tindakan “ngeyel” kita, bergantian dipanggil wakil kepala dan kepala sekolah. Padahal ujian akhir makin dekat
Tak jarang kita berjalan dari ujung kelas ke ujung kelas yang lain, bahkan dengan berurai air mata sekedar menyatukan dan meyakinkan para jilbaber untuk setia dengan jilbab menutup kepala saat berfoto. Meskipun orang lain banyak berbicara miring tentang kita, kita tetap dalam tujuan semula tetap teguh dalam prinsip.
Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar memang, sekarang kita memang tidak bersama tapi aku yakin prinsip kita yang sama itu masih ada. Dan aku sangat yakin itu, aku sangat mengenal sosokmu…
Kita jarang bertemu, tak lagi satu halaqah dalam menuntut ilmu. Entah mengapa sekarang aku jarang melihat jilbab tebal nan lebar itu. Sehingga tak ada lagi beda antara dirimu dengan jilbaber gaul itu. Aku hanya bisa menerka sekiranya bertemu dan bisa bertegur sapa. Tak berhak sedikit pun aku mengatur visi misi hidup dirimu. Namun tak bisa membohongi diri ini, ada rasa sedih dan iba apakah gerangan yang telah terjadi dengan saudari seimanku yang dulu pernah duduk satu lingkaran untuk mengkaji ilmu?
Mungkin engkau akan berargumentasi toh jilbabku bukan nilaiku..!. Duhai ukhti yang aku cintai karena Allah, yang masih saja aku doakan dalam setiap doa rabithahku. Kembali dalam kemuliaan nilai-nilai Islam itu pasti lebih utama dan menenangkan, tak usahlah risau karena tak biasa di mata manusia, bukankah kita berharap menjadi luar biasa di Mata Allah dengan amalan terbaik kita?
Entahlah dunia memang makin berubah dan aku tak tahu apa yang telah mengubah pandanganmu itu, mungkin tuntutan profesi, mungkin tuntutan mode, tuntutan ekonomi, atau tuntutan suami?
Padahal telah jelas dan gamblang bagaimana ketentuan jilbab syar’i itu, Allah sendiri yang berfirman dalam QS Al Ahzab: 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. ‘yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dan juga dalam QS An Nuur 31 …”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…”
Perintah Allah itu jelas dan tak pernah berubah karena Al Quran itu sesuai dengan perkembangan zaman, meski zaman banyak berubah karena teknologi yang begitu pesat, namun bukan berarti kemudian Al Qur’an mengikuti zaman, tetapi zamanlah yang mengikuti Al Quran.
Perintah Allah begitu jelas tak perlu ditawar agar muslimah itu menutupkan kain kudung ke dada, dan tentunya arti dada di sini tidak serta merta hanya bagian dada tetapi area selingkaran dengan dada yaitu punggung lengan dan juga di bawahnya, karena perbuatan demikian lebih menutup aurat dan menjaga kemuliaan.
Lantas dengan jilbab yang tipis itu, aku juga semakin tak mengerti alas an apalagi, apakah karena di pasaran sudah tak ada lagi yang menjual kain tebal yang lebih menutup aurat, atau takut dikatakan jilbaber tapi tidak innovation, atau lagi-lagi masih saja menggunakan dalil cuaca di bumi makin panas, dan takut kegerahan dengan jilbab yang tebal. Padahal jika dinalar rumah yang kecil dengan rumah yang besar tentu akan terasa panas ketika kita berada dalam rumah yang kecil bukan? Ketika kita berjilbab masih merasa gerah mungkin ada yang tidak beres dengan model jilbab kita, seperti model rumah tadi. Mungkin terlalu ketat, atau ada ikatan-ikatan yang memang seharusnya tak perlu kita pasang sehingga malah membuat gerah.
Tak ada yang salah dengan syari’at Islam, kalaupun kita belum menemukan kebahagiaan dan ketenteraman sebagai umat muslim, mungkin kita belum sampai dalam ilmunya. Dan seharusnyalah kita menuntut ilmu Islam itu lebih keras lagi. Karena kita tahu Islam itu syammil mutakamil, Islam itu sempurna dan menyeluruh. Seluruh aturan hidup itu ada dalam Islam. Karena itu kita harus bahagia dan bangga sebagai umat Islam. Bentuk kebanggaan kita salah satunya adalah tidak malu menampakkan identitas kita sebagai muslimah. Tidak malu atau setengah-setengah dalam mengimani perintah dan mengenakan jilbab syar’i.
Muslimah harus cerdas, begitu juga dalam mengikuti perkembangan mode harus bisa menyiasati dan pandai memilah saat membeli pakaian pun dalam berbisnis pakaian muslimah. Saudariku bukankah telah sampai kepada kita kajian tentang syarat-syarat jilbab syar’i:
- Menutup seluruh badan selain bagian yang dikecualikan (muka dan telapak tangan)
- Tidak dijadikan perhiasan
- Jilbab itu harus tebal tidak tipis
- Jilbab harus longgar, tidak ketat
- Tidak dibubuhi parfum atau minyak wangi
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki
- Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir
- Tidak berupa pakaian Syuhrah(sensasi) baik itu terlalu mewah karena mahal ataupun terlalu murahan yang dipakai untuk menunjukkan sikap zuhud dan dilakukan atas dasar riya’
Saudariku masih ada lagi kisah yang menakjubkan dari kalangan shahabiyyah yang seharusnya kita jadikan teladan. Yaitu riwayat dari Ummu ‘Alqamah bin Abu ‘Alqamah, ia berkata: “Aku melihat Hafshah binti ‘Abdurrahman bin Abu Bakar menemui ‘Aisyah. Ketika itu, Hafshah sedang memakai khimar berbahan tipis sehingga keningnya terlihat. ‘Aisyah lantas merobek khimar itu, seraya berkata: “tahukah kamu apa yang Allah turunkan dalam surat An Nuur? Kemudian, ‘Aisyah minta diambilkan khimar (yang tebal), lalu ia memakaikannya kepada Hafshah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (VIII/46), Ibnu Hibban mencantumkannya dalam ats Tsiqaat (V/466))
Saudariku aku berharap keprihatinan hati ini cukup sampai di sini dan takkan aku temui lagi keadaan yang membuat diri ini miris dan sedih. Saudariku memang seharusnyalah kita malu kepada Allah, banyak nikmat yang Dia beri kepada kita. Nikmat sehat, tubuh yang lengkap, dan segala kesempurnaan fisik sebagai perempuan, serta banyak nikmat lain yang takkan pernah habis bila kita menghitungnya. Namun kita sering malas bahkan mengulur waktu dan terus mencari alas an untuk tidak menjalankan perintahNya. Bukankah bentuk dari kesyukuran adalah ibadah dan menjalankan aturan Islam dengan paripurna? Mungkin kita akan mengatakan toh kita ini berproses? Namun proses harus mempunyai target yang jelas, karena kita tidak tahu sampai kapan jatah hidup kita di dunia.
Saudariku, tentu kita takut ketika rasa malu dalam diri kita dicabut karena apa dalam hadits dikatakan:”Sesungguhnya Allah SWT apabila hendak membinasakan seseorang, maka dicabutnya rasa malu dari orang itu. Bila sifat malu sudah dicabut darinya, maka ia akan mendapatinya dibenci orang, malah dianjurkan orang benci padanya. Jika ia telah dibenci orang, dicabutlah sifat amanah darinya. Jika sifat amanah telah dicabut darinya, kamu akan mendapatinya sebagai seorang pengkhianat. Jika telah menjadi pengkhianat, dicabutnya sifat kasih sayang. Jika telah hilang kasih sayangnya, maka jadilah ia seorang yang terkutuk. Jika ia telah menjadi orang terkutuk maka lepaslah tali Islam darinya.” (HR Ibnu Majah).
Istiqamah memang tak mudah apalagi tanpa didukung oleh lingkungan, teman-teman dan orang-orang terdekat dari kita. Namun bukan hal yang mustahil bagi kita untuk mengupayakan itu semua. Dengan upaya terus memupuk keimanan kita, senantiasa menuntut ilmu, dan bergaul dengan orang shalih dan shalihah. Yang tak kalah penting adalah Berdoa pada Allah semoga kita senantiasa tetap komitmen dalam jilbab yang syar’i.
Wallahu A’lam bishawwab
—
* semoga ini bagian dalam mengamalkan QS Al ‘Ashr (1-3)
“Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.”
Pustaka : Kriteria Busana Muslimah : Muhammad Nashiruddin Al Albani, Hikmah dari Hadits / Ayat harian(Merger Thread) – Page 41 forumm.wgaul.com › … › Agama dan Iman › Islam, Notes Ukhty Aku Rindu Jilbab Panjangmu: Anindya Sugiyarto,
0 komentar:
Posting Komentar