menembus batas


Ilustrasi (syahrulsila.wordpress.com / dasraldesign)
Ilustrasi (syahrulsila.wordpress.com / dasraldesign)
dakwatuna.com - “Satu janji itu adalah surga. Inilah yang dijanjikan untuk mereka yang telah berjihad, yang didera duka dan kegetiran, yang berjuang mati-matian di jalan dakwah” (Sayyid Qutb”

Apa yang membuat ragu bung? Jika saat ini kita merasa sulit, maka sebentar lagi kita akan melesat cepat. Betapa sedikit orang yang bersabar atas langkahnya padahal ternyata hanya tinggal selangkah lagi ia berjalan, ia akan sampai pada tujuan.

Kadang kita berusaha keras atas cita-cita kita, namun Allah belum wujudkan dengan segera, sungguh itu karena Allah ingin melihat kesungguhan kita dan kerja keras kita. Bahkan kita jarang menyadari apa yang kita upayakan itu ternyata terwujud bukan dari tangan kita, bukan dari usaha kita, bukan dari langkah kita, tapi dari orang lain.

Apapun Yang Terjadi Kita tetap Meyakini, dada kita dipenuhi keyakinan, dipenuhi keimanan. Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.

Apakah hajar mendapatkan apa yang ia cari saat berlari di dua bukit; syafa dan marwa? Tidak! Justru ia dapatkan bukan dari kerja kerasnya berlari-berlari, melainkan dari kaki Ismail yang menangis kehausan lah ia temui air.

Apa yang membuat ragu bung? Tetaplah berjuang, meski belum kita dapatkan titik terang keinginan, karena Allah selalu melihat upaya dan kerja keras yang kita lakukan.
Jika ada yang meragukan kita, katakanlah apa yang dikatakan Columbus pada Ferdinand dan khalayak “Itulah bedanya aku dan kalian Tuan-tuan! Aku memang hanya melakukan hal-hal yang mudah dalam kehidupan ini. Tetapi aku melakukannya di saat semua orang mengatakan bahwa hal mudah itu mustahil!”
Tidak ada yang tidak mungkin! Selama ada keimanan yang terhujam dalam dada, maka saat itu pula kita sadar, kita adalah satu dari banyak orang yang tengah bekerja, berupaya, dan berusaha membangun menara Cahaya. Inilah yang membedakan kita dengan yang lain. Keimanan, ya keimanan. Wallahua’lam.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/12/23/43691/menembus-batas/#ixzz2oLGavkKX 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

menejemen mimpi

“Kenyataan hari ini adalah mimpi kita kemarin, dan mimpi kita hari ini adalah kenyataan hari esok” (Hasan Al-Banna)

“Bermimpilah engkau setinggi langit” (Pepatah)

Setiap orang mempunyai area mimpi yang berbeda, karena setiap orang bebas untuk bermimpi, seperti burung yang terbang di angkasa, setiap orang dapat memilih ingin menjadi begini dan begitu, mau ini dan itu, yang intinya menggambarkan cerita sukses kehidupan, dan seluruh mimpi itu terangkum dalam jutaan keinginan kita. keinginan yang tak tahu dimana ujungnya waktu dan tempatnya.

Mimpi adalah suatu hal yang sangat urgent dalam kehidupan karena akan menunjukkan peta dan langkah kesuksesan kita. Mimpi memang membuat hidup jadi lebih indah karena keberhasilannya, namun banyaknya juga mimpi yang tak tergapai dan tak terbeli. Hanya orang mati sajalah yang tidak mempunyai keinginan dan mimpi.

Berani bermimpi adalah langkah awal untuk sukses, dan ketakutan kita untuk bermimpi awal dari kesalahan fatal dalam kehidupan. Selalu memperbaharui mimpi akan menjadikan hidup lebih bersemangat dan obsesif, meninggalkan dan melupakannya akan sebaliknya. Membatasi mimpi akan menjadikan kita terkungkung dalam sebuah kotak yang membuat gerak dan langkah kita menjadi terbatas.



Ada 5 hal, bagaimana kita mengelola mimpi-mimpi kehidupan kita :


1. Faktor mental

Mimpi itu sangat dekat kaitannya dengan khayalan dan pemikiran, olehnya faktor mental menjadi sangat berperan. Mimpi besar hanya bisa dilahirkan orang yang memiliki mental besar, orang memiliki mental langit yang dekat dengan Yang Maha Besar. Jangkauan mimpi dan berpikirnya akan jauh ke depan, menembus batas kehidupan setelahnya, ia akan menghasilkan karya-karya besar dan luar biasa dalam kehidupannya, sebaliknya orang yang takut kepada makhlukNya akan melahirkan mimpi yang kerdil, mimpi hanya tentang harta, tahta dan wanita, hanya mimpi sesaat dan sejauh mata memandang.

2. Reasonable

Mimpi itu memang harus masuk akal dan logika, i-reasonable mimpi akan hanya menjadi mission impossible kehidupan sebagaimana di film-film. Ada dua logika bagaimana kita merasionalkan mimpi, pertama: Logika Langit, Tuhan tahu apa yang terbaik untuk makhluk-Nya, logika langit adalah logika agama, inspirasi mimpi yang bersumber dari Wahyu dan sabda Nabi-Nya. Kedua; Logika Manusia, Tuhan tidak mendatangkan hujan emas dari langit, tapi mimpi itu harus logis dan dapat dikerjakan manusia, bukan sesuatu yang mengawang-awang.

3. Jelas

Banyak orang bermimpi, namun hanya sepintas lalu, samar-samar atau hanya setengah hati. Seyogianya mimpi itu haruslah jelas, plus minusnya, bagaimana gambaran detail mimpi itu, hipotesa mimpi dan rencana aksi harusnya suatu hal yang jelas dan tersusun dalam planning kehidupan. Kegagalan kita mendeclear, men-zoom dan memperjelas mimpi adalah kegagalan kehidupan kita.

4. Terkoneksi

Koneksi adalah sebahagian dari kesuksesan mimpi, terkadang ada suatu hal yang sebaiknya dikerjakan oleh bukan diri kita, tapi oleh yang lain. Kita boleh bermimpi dan berencana tapi Tuhan juga punya rencana, manusia yang lain juga punya keinginan dan rencana, tinggal bagaimana kita menyambungkan, mengkoneksikan dan menyesuaikan antara mimpi kita, rencana Tuhan dan keinginan manusia.

5. Sumber daya

Pengetahuan dan kepemilikan sumber daya memberikan pengaruh besar dalam mensukseskan mimpi. Sumber daya langit adalah sumber daya tak terbatas, “berdoalah (mintalah keinginanmu), Niscaya akan Aku kabulkan”. Di sisi yang lain, sebaiknya kita saatnya berfikir bagaimana mimpi kita dapat dibiayai orang lain, karena jika mengandalkan sumber pribadi, akan sangat terbatas. Ketiga sumber daya ini jika dimaksimalkan dan diintegrasikan akan sangat membantu suksesnya mimpi kita
Wallahu a’lam bishshawab.

bila waktu telah berakhir

“bagaimana kau merasa bangga
akan dunia yg sementara
bagaimanakah bila semua hilang dan
pergi
meninggalkan dirimu
bagaimanakah bila saatnya
waktu terhenti tak kau sadari
masikah ada jalan bagimu untuk kembali
mengulangkan masa lalu
dunia dipenuhi dengan hiasan
semua dan segala yg ada akan
kembali padaNya
bila waktu tlah memenggil
teman sejati hanyalah amal
bila waktu telah terhenti
teman sejati tingallah sepi…”
Saat semuanya tersadarkan kalau ini semua sementara,
Ya Rabbi…maafkan hambaMu ini,
Yang sering lalai…

amiin

setetes hikmah dari secuil gambar

Melihat Foto Presiden Iran (mahmoud
Ahmadinejad) terjadilah
image
sebuah kisah dialog
antara seorang Syekh muslim dengan
seorang lelaki non Muslim asal Inggris
Lelaki non Muslim bertanya: “Kenapa dalam
Islam wanita tidak boleh jabat tangan
dengan pria?”

Syaikh menjawab: “Bisakah kamu berjabat
tangan dengan Ratu Elizabeth?
Lelaki non Muslim Menjawab: “Oh tentu
tidak bisa! cuma orang2 tertentu saja yg
bisa berjabat tangan dengan ratu.”
Syaikh tersenyum & berkata:” Wanita2 kami
(kaum Muslimin) adalah para ratu, & ratu
tidak boleh berjabat tangan dengan pria
sembarangan (yg bukan mahramnya)”
Lelaki non Muslim bertanya lagi :”Kenapa
perempuan Islam menutupi tubuh dan rambut
mereka?”
Syekh tersenyum dan mengeluarkan 2
permen dari sakunya, ia membuka yang
pertama terus yang satu lagi dibiarkan
tebungkus. Dia melemparkan keduanya
kelantai yang kotor.
Syaikh bertanya: ” Jika saya meminta anda
untuk mengambil satu permen, mana yang
anda pilih?”
Lelaki non Muslim menjawab: “Yang
tertutup..”
Syeikh berkata: ” Itulah cara kami
memperlakukan dan melihat perempuan
kami :)
#secuil Hikmah

sumber:sahabatdarihati.wordpress.com

Jika berharap pada manusia, persiapkan diri Anda untuk kecewa


Ilustrasi (kawanimut) Sehabis rapat aku tergesa-gesa meninggalkan sekre. Dengan langkah-langkah panjang kuterjang cuaca terik siang ini. Walau dengan sedikit berkeringat tapi Alhamdulillah jilbab yang melindungiku sejak 6 tahun yang lalu mampu menaungiku dari sengatan panas si raja siang ini, begitu juga dengan rok dan blus lengan panjang yang kukenakan mampu melindungi tangan dan kakiku dari kegosongan. 

Aku terus melangkahkan kakiku dengan hati dan pikiran yang berkecamuk. Ah cuaca siang ini seolah menggambarkan kondisi hatiku, PANAS. Beberapa kali aku beristighfar memohon ampun pada Allah atas kekerdilan diri, namun tetap saja tidak membuatku tenang. Bahkan semakin kupikirkan semakin terbakar rasanya hati ini, SAKIT. Faghfirli ya Allah…

Sesampai di kos segera kutaruh tasku yang lumayan berat, aku ingin menenangkan hati. Tanpa berlama-lama segera kubasuh muka, tangan, menyapu kepala, membasuh kaki, ya WUDHU’. Baru saja membaca ta’awusy kristal bening ini tidak terbendung lagi, aku menangis. Kucoba hadirkan diri dan hati untuk terus membaca dan memahami surat cinta-Nya yang mulia. Alhamdulillah aku menemukan ketenteraman.

Usai tilawah kurebahkan tubuhku, ku arahkan tatapanku lurus-lurus menembus langit-langit kamar yang putih. Di sana, tampak berkelebatan kembali seperti slide, bayangan kejadian beberapa waktu yang lalu. Kuurung niat tidur siang karena mata ini benar-benar gak bisa terpejam. Hmm, aku mencoba mencari kesibukan lain.

Baru saja aku mencoba membaca buku “Nasihat Pelembut Hati” milik seorang Saudara yang aku pinjam, kristal bening ini tiba-tiba membuncah saat aku menemukan kalimat “BANYAK ORANG HINA BISA MELAKUKAN KEBAIKAN NAMUN HANYA ORANG MULIA YANG MAMPU MENINGGALKAN MAKSIAT”.
 Dada ini kembali sesak saat aku teringat akan kebodohan yang aku lakukan, aku menangis sejadi-jadinya berharap dosa-dosa ikut terhanyut dalam aliran air mataku. Aku menghentikan bacaanku.
Aku tahu sampai sekarang Allah masih menyembunyikan aibku, kalau bukan karena aku yang bercerita tentulah tidak ada yang akan tahu, seorang pun. Kalimat ini benar-benar memberikan cambuk yang begitu dahsyat buatku, sebegitu hinakah aku?? Robb, aku jadi teringat wajah saudara-saudaraku yang begitu percaya akan keteguhan iman dan keistiqamahanku. Bahkan tak jarang juniorku mengatakan ”aku ingin seperti kakak, aku ingin militan seperti kakak, kak ajari kami tentang ketegaran dan ketegasan” atau kata-kata lain yang menggambarkan bahwa seolah aku adalah akhwat yang hebat yang patut dijadikan panutan. Padahal kini aku sudah rapuh, ALLAH, Aku benar-benar malu…

Mataku masih kelihatan sembab saat sahabat terbaikku datang mengunjungiku. Dhira, gadis berdarah Jawa inilah satu-satunya tempatku berkeluh kesah. Bawaannya yang begitu ceria namun tenang mampu membuatku nyaman di sampingnya. Walau kerap setiap ceritaku yang dia anggap sebagai kebodohan, akan dia tanggapi dengan taushiyah yang menghujam, lembut tapi tegas dan tetap saja aku tidak pernah bosan curhat padanya, sebab kutahu apa yang dikatakannya adalah yang terbaik untukku.

“Assalamu’alaikum, sehat cinta?” khas sapa hangatnya setiap kali bertemu aku. “Alhamdulillah”, jawabku lirih.
“Pasti ada apa-apa ne. Hey.., kamu kenapa? Ceritalah!!!” penasaran akan keadaanku.
“Nggak ada apa-apa Ra” jawabku, khawatir kalau ceritaku kali ini akan benar-benar membuat dia marah.
“Hmm, aku tahu, ini pasti ada kaitannya dengan si “Itonk” itu”, begitulah ia menyebut seorang ikhwan yang selama ini banyak membuat aku harus mengeluarkan air mata. Astaghfirullah…
Aku mengangguk kemudian tertunduk.

“Rha…..” aku tak kuasa menahan tangis dan dengan cepat ia memelukku dalam dekapannya yang hangat.
“Tia sabar, tenangkan hatimu, Istighfar. Coba cerita, apalagi yang dia lakukan terhadapmu?” Bukannya bercerita, tangisku malah kian sangat.
“Rha, dia akan menikah minggu depan dengan akhwat lain”.
“Firdaus maksudmu? Menikah? Akhwat lain? Siapa?”.
Firdaus, ikhwan yang selama ini banyak kutaruh harapan tiba-tiba kutemukan cerita kalau ia akan menikah. Setelah selama 1 tahun menjalin hubungan dengannya. Begitu saja ia meninggalkan aku, padahal ia sudah pernah berjanji akan menikahiku, bahkan sampai datang ke rumah menemui orang tuaku untuk meyakinkan kalau ia benar-benar serius. Bahkan aku pun sudah pernah dikenalkan kepada keluarganya.
Seharusnya aku tidak perlu kaget dengan cerita ini, karena suatu hari ia pernah mengatakan padaku kalau ia tidak akan bisa menikahiku karena alasan Ibunya yang menginginkan ia menikah dengan perempuan yang memiliki pekerjaan tetap. Aku pikir ini adalah alasan yang dibuat-buat, karena pada saat itu kami ada sedikit masalah.

Dan ternyata kali ini dia akan benar-benar menikahi akhwat lain, seorang akhwat PNS. Aku tak tahu apakah aku menangis karena sakit hati kalau ia akan menikah dengan akhwat lain ataukah karena baru tersadar dengan kebodohanku selama ini. Aku begitu menyesal pernah terperangkap dalam cinta palsunya, semakin menyesal terlebih karena hubungan kami sudah terlalu jauh, tidak hanya sebatas sms-sms-an atau telepon-teleponan yang begitu romantis, bahkan kami sudah pernah jalan berduaan. ASTAGHFIRULLAH YA RABB…

Aku juga merasa berdosa pada Dhira, karena setiap kali ia menasihatiku dan meminta agar aku menghentikan “hubungan” dengan seorang ikhwan sebelum menikah, setiap kali pula aku berjanji akan mengakhiri semuanya. Tapi di belakangnya aku masih saja mengulangi kebodohan ini, dengan kesalahan yang sama dan dengan orang yang sama. Yang lebih membuatku menyesal lagi, aku pernah berfikir untuk mengakhiri persahabatan dengan Dhira karena kupikir ia terlalu ikut campur dengan masalah pribadiku, tapi karena kesabarannya menasihatiku dan selalu setia di sampingku maka kalimat itu tidak pernah terucap. Dan aku bersyukur tidak melakukan itu padanya.

Dhira memegang bahuku, “Tia dengarkan aku, kamu harus bisa tegar. Bersyukurlah karena kamu tidak jadi menikah dengan dia, dia bukanlah orang yang baik buatmu. Ingatkan, berapa kali ia menyakitimu. Kalau ia sanggup melakukan ini sebelum kalian menikah maka tidak akan menutup kemungkinan dia akan menyakitimu saat setelah menikah. Ia ikhwan terburuk yang pernah aku kenal, maka aku tidak akan pernah ridha kalau ia menikahimu. Mulai sekarang, berjanjilah untuk tidak mengulangi kesalahan ini. Kumohon kali ini dengarkan aku, dulu aku selalu memintamu agar tidak menjalin hubungan dengan ikhwan sebelum ia benar-benar halal bagimu, tapi kamu tidak pernah hiraukan nasihatku. Tia aku sayang kamu, maka aku menginginkan yang terbaik buatmu. Yakinlah orang yang tepat akan datang di waktu yang tepat juga. Menikahnya dia tidak akan membuat bumi berhenti berputar dan tidak harus membuatmu berhenti melangkah. Masih ada waktu memperbaiki segalanya, di luar sana masih banyak ikhwan yang mulia yang senantiasa mampu menjaga iffah dan izzah, berdoa saja semoga Allah mempersiapkan salah satunya untuk kita”, Dhira mengakhiri nasihatnya untuk menenangkan aku.

Sekarang aku hanya mampu berdoa agar aku, sahabatku Dhira, Anda dan orang-orang shalih dijauhkan dari kesalahan seperti ini, dan tidak pernah mengalami kedukaan ini.
 “Kini semakin ku yakin, kemaksiatan tidak akan pernah berakhir dengan keindahan”.
Allah, dengan apa aku menebus kesalahan ini, terimalah sujud taubatku….

Jurus Menjadi “Sedikit” Lebih “Kaya”

Tidak satu-pun orang di dunia ini yang tidak ingin kaya….Semua ingin kaya, ingin punya banyak uang, ingin punya mobil bagus dan ingin punya rumah mewah….tetapi mengapa di dunia ini tidak semua orang bisa menjadi kaya…Apa sebenarnya yang membedakan orang bisa menjadi kaya dan tidak…..
Tapi….tunggu saya bukan hanya sekedar membahas kaya dari dimensi harta saja, saya ingin memandang kaya dari berbagai sisi…saya menyebutnya dengan kaya 3 dimensi….apa saja itu ? saya membaginya menjadi 3….kaya secara emosional dan intelektual, kaya secara spiritual dan kaya secara fisik dalam hal ini dilihat dari sisi harta…


Kita bisa lihat dewasa ini orang yang secara harta dia berkelimpahan namun lemah di sisi emosinal dan spiritual, misalnya saja seorang pengusaha yang kaya raya namun senang gonta ganti wanita yang bukan istri sahnya, orang itu kaya namun lemah secara spiritual karena hidupnya selalu bergelimang dengan dosa, apalagi sisi emosionalnya sama sekali tidak memiliki empati terhadap sesama, bukannya menyedekahkan uangnya untuk orang yang kurang mampu tetapi malah menghamburkan uangnya untuk perbuatan yang malah membuat dirinya berdosa…..

Orang seperti itu mungkin dipandang kelas atas tetapi blum tentu kelas atas dimata ALLOH….lantas bagaimana menjadi orang yang kaya secara tiga dimensi, saya menyebutnya jurus menjadi “sedikit” lebih kaya, kenapa sedikit….iya karena sesuatu itu bisa banyak berawal dari sedikit dan sedikit inilah yang berkualitas….saya mencoba merinci jurus itu pada masing-masing dimensi….
Kaya secara intelektual dan emosinal…gampang untuk “sedikit” kaya di dimensi ini cukup banyak membaca baik yang tersirat maupun tersurat…..bukan hanya buku yang dibaca tapi asah juga empati kita, caranya ? mungkin ada yang bertanya…..salah satu caranya adalah bergaulah dengan orang-orang yang hidupnya jauh dibawah kita….

Kaya secara spiritual…..contohlah para sahabat Rasul yang berlomba-lomba menginfaq-kan hartanya di jalan ALLOH…bahkan rela menyumbangkan seluruh hartanya dan ketika Rasul bertanya…..apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu ? mereka menjawab, cukup ALLOH dan Rasul-NYA untuk kami….itu mereka yang kecintaan pada ALLOH dan Rasul-NYA sudah tinggi….lantas bagaimana agar kita menjadi manusia yang seperti itu yang sangat kaya secara spiritual….coba latih agar hati kita selalu menyebut nama ALLOH SWT….dalam hati kita….ingatlah selalu ALLOH dalam berbagai kesempatan….baik saat berdiri, duduk maupun terlelap….semoga dengan riyadhoh ini kita menjadi manusia yang kaya spiritual….

Kaya secara harta gimana ya….gampang tindakan awal adalah silaturahmi dan terus fokus untuk menjalankan apa yang menjadi kecintaan kita….berbuat yang terbaik dalam setiap bisnis yang kita geluti…dan jangan pernah menyerah biarkan ALLOH SWT yang mengistirahatkan kita asalkan kita tetap berbuat yang terbaik selalu tanpa henti….
wallahu’alam…
Oleh : Derby Dian Utama (twitter : @derbyutama)

bacalah! Maka Kau Akan Mengerti

Bacalah tentang dirimu, maka aku akan mengerti bahwa sesungguhnya dirimu adalah indah. Allah telah menciptakanmu dengan begitu teratur dan sempurna, maka dari itu berbanggalah menjadi muslimah dengan menjadi taat kepada Nya.
 
Dia tetap memeliharamu bahkan saat kau tidak mencintainya, Dia mengasihimu dan tetap memberikan kepadamu jatah rizki, bahkan disaat kau mengkhianatinya, dan Dia pun akhirnya memaafkan kesalahanmu saat kau bertaubat, walaupun selanjutnya kau mengulang kesalahan yang sama. Lagi dan lagi.
 
Memang, menebus kecintaanNya adalah sangat mustahil dilakukan, maka satu- satunya cara untuk membalasnya adalah menjadi hamba yang baik untukNya. Walaupun itu memang sama sekali tidak menguntungkan atau merugikanNya, namun percayalah kesetiaan terhadap aturan dan JalanNya, akan selalu membawamu kepada kemuliaan seorang manusia.
 
Menjadi mulia…ternyata lebih mendamaikan bahkan dari pada sekedar mendapatkan gelar sebagai `kaya`. Lalu mengapa harus kau rendahkan dirimu sendiri dengan menyelisihi Allah sang Maha Penguasa, hanya demi memenuhi nafsu yang memenuhi rongga dadamu?.
 
Bacalah kewajibanmu, maka kau akan mengerti bahwa seorang wanita sangatlah dimuliakan Allah lewat sebuah hal yang bernama melayani. Dengan melayani keluarga dan suami, maka kau telah melekatkan sebuah keajaiban pada dirinya sendiri sebagai seorang wanita.
 
Kau yang dengan segala keringanan mengesampingkan kesenanganmu sendiri demi kebahagiaan yang lain. Ah Simpanan terbaik apalagi di dunia ini yang lebih selain seorang istri yang begitu sangat sholihah dan mencintai keluarganya diatas kepentingan dan kelegaan hatinya sendiri. Suami adalah kunci munuju surga, kehidupan terabadi ditempat yang paling indah. Subhanallah, semoga Akhirnya kehidupan terbaik disana bisa di peroleh.
Bacalah tentang kekuranganmu, maka kau akan mengerti cara tepat menjadikan dirimu hebat, tanpa harus menjadi dipaksakan untuk sempurna.Kesadaran tentang kekurangan itu akan menjadikan kau pribadi yang tidak sombong dihadapan Yang Maha segala apalagi dihadapan manusia.
 
Saat kau mengenal kekuranganmu, maka akan banyak kesempatan bagimu untuk melembutkan hati dan mengasah kasih sayangmu untuk selanjutnya kau sebarkan keindahan itu kepada seluruh dunia.
Bacalah tentang masa lalumu, maka kau akan mengerti betapa Allah sangat Maha penyayang dan mengasihimu. Allah menuntunmu kepada jalan yang terbaik walaupun kadang kau khianati.
Kasih sayangNya tiada batas, walau sering kali kita membatasi diri denganNya lewat dosa- dosa yang kau perbuat. Maka dari itu jangan tunda sujudmu, mohonkanlah ampunan atas jalan salah yang telah kau ukir dalam kebanggan berbuat dosa.
 
Bacalah setiap lembaran hidupmu, maka kau akan mengerti betapa Allah Subhanahu Wata’ala telah mengembankan kepadamu tugas yang berat dan indah, namun tidak melebihi kemampuanmu.
 
Kau adalah mampu, walaupun kau suka berputus asa dengan berkata tidak mampu. Kau adalah pemenang, walau sesekali terpuruk menjadi pecundang. Kau adalah Anugrah, maka jangan anggap dirimu sebagai sampah. Kau indah, bahkan terlalu indah untuk sekedar kau caci maki. Kau adalah hamba yang taat, walau sesekali kau salah jalan, namun lihatlah sang Maha Penolong masih tersenyum dalam keteledoran yang kau lakukan.
Dan yakinlah Dia akan selalu memaafkanmu, selama kau ikhlas meminta maaf. Lalu, atas alasan apa lagi kau harus menunda tobatmu, apakah kau perlu harus menyaksikan dahulu kemurkaaan Allah atasmu?
 
sumber:sahabatdarihati.wordpress.com

Ukhti, Kaos Kakinya Mana?

“Mbak, mau ke mana?” tanya Nisa kepada kakaknya Nada.
“Mau ke warung Bu Arip beli garem” jawab Nada.
“Koq nggak pake kaos kaki sih?” taya Nisa lagi.
“Kan rumah Bu Arip deket,” jawab Nada
“Terus kalau deket auratnya keliatan juga nggak papa yah?” ucap Nisa retoris.

Pernah juga ada seorang akhwat yang baru selesai berwudhu dan belum menggunakan kaos kaki karena kakinya masih basah. Kebetulan ketika ia hendak masuk masjid, ia harus melewati kawasan ikhwan. Kemudian ada seorang ikhwan yang nyeletuk: “Ukhti, kaos kakinya mana?”
Jleb.. Pernah ngalamin hal kayak gini? Lupa –atau sengaja- tidak memakai kaos kaki ketika ingin berpergian atau di depan orang yang bukan mahram.

Ada cerita lagi, suatu hari saya diajak ibu belanja sayur di rumah temannya. Kebanyakan penjual sayur di daerah saya tidak ada yang berpakaian rapi, hanya menggunakan daster atau baju-baju yang biasa dipakai di dalam rumah. Pikir saya, teman ibu yang penjual sayur ini tidak jauh berbeda dengan penjual sayur lainnya. Ternyata teman ibu adalah seorang ummahat bercadar. Baru kali ini saya menemukan seorang penjual sayur bercadar di daerah saya. Tapi ada satu hal yang mengusik pikiran saya. Bukan karena cadar yang beliau kenakan. Ketika saya melihat ke bawah ternyata punggung kaki beliau terbuka, tidak tertutupi apapun baik itu kaos kaki atau lainnya.


Pakai cadar tapi kok nggak pakai kaos kaki sih Bu,” tanya saya kepada ibu dalam perjalanan pulang.
“Kan, itu di rumah (kebetulan warungnya jadi satu dengan rumah). Kalau keluar beliau pake kaos kaki kok,” jawab Ibu.
Masalah kaos kaki memang terdengar sepele. Tapi ini cukup untuk merepresentasikan pemahaman seorang Muslimah akan agamanya. Masalah sepele ini bisa memperlihatkan komitmen dan kekuatan ‘azzam seorang Muslimah dalam menjaga ‘izzah atau kehormatannya. Masih sering kita jumpai saudari-saudari kita yang berpakaian serba tertutup dari ujung kepala hingga ujung kaki ketika hendak bepergian, tapi ketika menyapu di halaman depan rumah kaki terbuka bebas. Atau ketika pergi ke warung, kakinya terlihat.

 Emang kaki juga bagian dari aurat ya?


Oke mari kita kaji dalil-dalil yang menjelaskan tentang batasan aurat wanita. Dalam Al Quran surat An Nuur ayat 31, Allah memerintahkan hendaknya para wanita tidak menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya dan menutupkan kain kerudung ke dadanya.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kalimat Ø¥ِلا Ù…َا ظَÙ‡َرَ Ù…ِÙ†ْÙ‡َا atau kecuali yang biasa nampak daripadanya. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat yang dimaksud dengan kecuali yang biasa nampak daripadanya adalahwajah, cincin dan kedua telapak tangan. Dalam riwayat lain yang berasal dari Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa maksud kecuali yang biasa nampak daripadanya adalah telapak tangan dan cincin.

Karena perbedaan tafsir mengenai kecuali yang biasa nampak daripadanya maka para ahli fiqih juga berbeda pendapat dalam menentukan batas aurat wanita. Ada yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Ada juga yang mengatakan seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Imam asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik dalam salah satu riwayatnya mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan. Jumhur ulama beranggapan bahwa kaki termasuk aurat.

“Barangsiapa yang memanjangkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya.” Ummu Salamah bertanya : ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung pakaian mereka?’ Beliau menjawab : ‘Kalian boleh memanjangkannya sejengkal.’ Ummu Salamah bertanya lagi : ‘Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!” Beliau menjawab, “Kalian boleh menambahkan satu hasta dan jangan lebih.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai)

Pada hadits di atas disebutkan bahwa kedua kaki perempuan adalah aurat.
Oleh karena itu ketika Rasulullah bersabda: “Panjangkanlah satu jengkal.” Ummu Salamah berkata: “Jika demikian kaki kami akan tersingkap.” Perkataan Ummu Salamah ini menunjukkan bahwa kaki perempuan adalah aurat yang tidak boleh terlihat. Maka dari itu Rasulullah memerintahkan untuk memanjangkan pakaian mereka sehasta. Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan hal ini dalam AL Quran surat an Nuur ayat 31 :


“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Al-Baihaqi mengatakan bahwa di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kaum wanita wajib menutup kedua punggung telapak kakinya. Asy-Syaukani juga juga berpendapat sama. Syeikh Utsaimin, Syeikh Musthofa al-‘Adawiy, Syeikh Albani dan jumhur ulama lainnya bersepakat bahwa kaki adalah aurat. Gimana, sudah dapet jawaban kan kaki itu aurat atau bukan?

Nah, untuk masalah kaos kaki sendiri sebenarnya bukan kewajiban. Kalau misalkan ada pakaian lain selain kaos kaki yang bisa menutupi aurat dan yakin aurat itu tidak akan tersingkap, nggak masalah nggak pakai kaos kaki. Mungkin kita berpikir ‘Ah cuma kaki doang, nggak bakal jadi fitnah’. Eits….jangan salah, setan akan terus mencari celah untuk mencari teman yang bisa menemaninya bermaksiat. Dan tau nggak sih, ternyata kaki juga bisa membuat  seorang laki-laki jatuh hati kepada wanita!

Buat yang memilih kaos kaki untuk menutupi kakinya, pilihlah kaos kaki yang tidak tipis seperti stocking. Rata-rata stocking berbahan tipis. Apalagi stocking yang warnanya sama dengan warna kulit, aurat kita akan tetap terlihat. Kalaupun ingin menggunakan stocking, sebaiknya di dobel dengan kaos kaki berbahan lain.
 Supaya lebih aman, gunakan kaos kaki yang panjangnya minimal sebetis. Kalau kita menggunakan kaos kaki semata kaki, tak jarang aurat kita terlihat ketika berjalan atau menaiki tangga.
Saudariku, kalau kita merasa aman dengan terbukanya bagian kecil dari aurat kita, bukan tidak mungkin kita akan merasa aman membuka bagian lainnya. Wal ‘iyadzu billah. Bagaimana saudariku masih pengen kah ke warung nggak pakai kaos kaki? Atau masih ada niatan nyapu teras kakinya terbuka? Yuuuk kita sama-sama menjaga diri kita, menutupi aurat kita, dan menjaga ‘izzah kita. (by rahma)

sumber:sahabatdarihati.wordpress.com

Untuk kalian yang saling mencintai karena-Nya.

Cerpen
Oleh: Muhammad Sholich Mubarok

 

Barang itu masih teronggok di atas tumpukan koran dan majalah. Tak jauh dari meja belajar. Kado dengan bungkus bercorak batik. Arif sendiri yang membungkus, tak rapi namun enak dilihat.
“Akh ini …” kata Arif dua hari lalu sembari menyodorkan kado.
“Apa? Buat siapa ini?”
“Buat Antum,” kata Arif sambil meng-he-he. Nyengir kuda. Tangannya masih digantungi kado.
“Memang apa isinya?”
“Nah, biar tahu makanya dibuka.”
“Ah, nggak-nggak. Dalam rangka apa?”
“Memang kalau member harus menunggu rangka dulu ya?” Arif balik nanya.
“Ah, nggak-nggak. Curiga saya, ntar gratifikasi lagi,”
Astaghfirullah al adzim, desah Arif. “Ya nggak lah. Ini memang buat Antum.”
“Ini akh,” Arif coba memaksa agar tangan teman satu kamar kosnya itu bersambut. Namun tak bersambut. “Taruh saja di situ. Masa ke kampus bawa beginian.”
Kopaja 20 pun mengantarkan mereka ke kampus. Ada rasa yang membuncah bahagia di hati Arif karena bisa memberi sesuatu pada Ardi. Mereka berdua adalah sekawan yang menempuh di kampus sama dan ngekos bersama. Demi hemat. Sebenarnya mereka udah kenal lama sejak semester tiga hingga semester lima ini. Namun gara-gara Ardi mulai ngekos– yang sebelumnya dilaju dari Bogor ke Jakarta—keakraban mereka makin lekat.
Arif memberi kado untuk ikhwan berlesung pipit itu bukan karena apa-apa, hanya ingin memberi. Kebiasaan Arif adalah suka memberi kado pada temannya sesama aktivis dakwah kampus. Khusus yang mahram. Dengan pemberian, hati seseorang yang keras bisa melunak. Ini yang kadang terlupakan oleh penggiat dakwah. Pernah suatu kali, Arif kesal dengan rekan organisasinya yang mangkir terus dari kegiatan. Ditanya pun banyak alasan, namun ketika Arif member kado, rekannya itu menjadi sangat rajin, bahkan lebih shalih.
Eh, tunggu! Dia memberi kado Ardi bisa juga karena Ardi telah membantunya mengerjakan coding PHP untuk tugas kuliah webnya.
Kado itu masih teronggok di atas tumpukan Koran dan majalah. Belum tersentuh pada yang dituju. Arif tak mengerti. Namun ia coba berpikir sepositif mungkin. Anehnya, belakangan Ardi bersikap dingin. Ngomong alakadarnya. Sekata bukan sekalimat. Padahal obrolan adalah kumpulan kata-kata. Arif merasa bersalah. Tapi apa salah Arif?
“Antum ada masalah Akhi?”
“Nggak,” jawab Ardi, datar.
“Oh,”
Arif sungguh-sungguh tak mengerti. Apa salah Arif hingga didiamkan Ardi? Apa gara-gara kado? Masa’ iya gara-gara memberi jadi ‘tersangka’. Mana ada sepanjang perjalanan sejarah, orang memberi malah dimusuhi. Tapi bisa jadi sih bila pemberiannya membuat sakit hati atau tersinggung. Apakah kausal itu yang jadi penyebabnya? Beragam tanya berkecamuk dalam benak Arif.
Kehadiran Ardi sebagai rekan satu kamar sangat berarti bagi Arif. Sangat memberi manfaat. Arif jadi makin rajin shalat tahajud dan shalat subuh di mushalla karena ada yang membangunkan, yang sebelumnya kerap tertinggal atau kesiangan.
“Mungkin dia gengsi kali,” kata Arya, teman beda kampus Arif ketika ia curhat. Gengsi? Masa’ iya? Memang sih Ardi anak orang kaya, ayah ibunya orang berada. Namun selama tiga bulan ngekos bareng Ardi hingga kini, Ardi adalah sosok yang rendah hati. Kalau pun sombong, paling menyombongkan orang dekat dia yang menjadi sosok terkenal. “Coba tanyakan lagi untuk memastikan, dia mau apa nggak? Mungkin dia sungkan untuk menanyakan lagi,” tambah Arya.
“Semua orang tak bisa mengkomunikasikan apa isi hatinya, Akhi,” kali ini Murabbinya Arif berbicara. “Dan tak semua orang mau menerima pemberian kita. Di sinilah, niatan kita diuji oleh Allah. Amal Antum tak akan seperti angin kok. Percayalah, Allah akan membalas.”
Arif mengangguk apa yang dikatakan Murabbinya saat konsultasi tentang permasalahannya.
Akh, kadonya kok nggak dibawa? Tulis Arif dalam pesan pendek coba berpikir bahwa tak ada-apa-apa. Coba berpolos hati. Namun tak ada balasan dari Ardi yang saat itu sedang balik di Bogor. Sepi.
Kado itu masih teronggok di atas tumpukan Koran dan majalah. Betah. Belum tersentuh pada yang dituju. “Akhi, kadonya kok nggak dibuka,” Arif memberanikan diri untuk menanyakan lagi. Mengikuti saran Arya.
Ardi yang sedang asyik dengan leppynya tak berkutik. Hanya, “Buat apa?”
“Ini buat Antum lho,” Arif yang lagi duduk di kursi belajar coba memaniskan diri, meski dalam hati gondoknya minta ampun.
Tak ada respon jua.
“Jadi, Antum mau menerima ini atau nggak Akhi?”
“Nggak,” kata Ardi dengan suara rendah namun menabrak.
Pernah melihat hujan selain hujan air? Hujan itu bernama hujan sakit hati yang menyayat hati Arif. Sangat menyayat. Rasanya ingin, argghh…
Masih dengan hati yang entah seperti apa kondisinya, Arif pun mengambil silet di atas lemari baju. Baru ia beli tadi siang, tingkat ketajamannya tak diragukan. Sangat tajam.
Krash!
Kado yang ia bungkus dan yang akhirnya ia buka sendiri itu pun terkuak isinya. Ardi mendengar suara itu, tapi ia enggan nengok. Tak tega juga Arif melihat kondisi seperti ini.
Ketika Arif tidur, Ardi yang belum tidur itu pun mendekati meja belajar. Penasaran. Deg! Ardi merasa berdosa telah menyakiti hati sahabatnya, tahu isi kado itu tak adalah Al-Munawwir, kamus bahasa Arab. Kamus yang selama ini diinginkannya. Sudah lama Ardi inginkan namun belum sempat kebeli karena harus ke toko As Sunah Kwitang. Tak sempat, sibuk, jauh, lebih tepatnya malas ke sana.
Allah…desahnya. Ada bintik bening di ujung matanya. Ia menolak pemberian itu bukan karena apa. Ia hanya ingin menjaga kesucian niat dalam membantu mengajarkan PHP kepada Arif. Kado itu saja bisa jadi pemancing niat awalnya. Jika menolak dengan mengatakan: Saya ikhlas membantu Antum, kalimat seperti ini yang membuat niat ternodai. Karena ikhlas adalah pekerjaan hati, bukan pekerjaan mulut. Namun kenapa harus ditolak? Terima saja, ah…Ardi kadang tak mengerti dengan diri sendiri.
Matahari mengintip dari timur dengan malu-malu. Hari cerah, namun tak secerah hati Arif. Sisa sakit hati semalam masih ada. Untuk kuatkan diri, dalam Twitter ia berkicau: jangan sakit hati bila Allah tujuan inti.
Ia membenarkan kata Murabbinya, tak semua orang mampu mengkomunikasikan apa yang ada dalam dirinya.
Sebelum berangkat kuliah, ia membuka dompetnya. Hanya ada dua lembar lima puluhan ribu rupiah. Uang segitu untuk waktu 12 hari ke depan. Uangnya berkurang karena …ah, sudahlah.

Untuk kalian yang saling mencintai karena-Nya.
Jakarta, 17 September 2012

Sumber: dakwatuna.com/

Izinkan Aku Mampu Yaa Rabbi…

Izinkan Aku Mampu Yaa Rabbi…

Oleh: Rina Lestari
 
Seakan peluh ini hilang sekejap
ketika bibir-bibir mungil itu mengeja a-ba-ta
air mata menangis dalam hati begitu lembut
kedamaian yang terasa lebih…lebih dari apapun
asa mereka tak pernah lelah
bila salah terucap..bola mata yang bening terlihat menatap
kedipan mereka seakan ingin mengiba
untukku bersabar menuntun mereka…
senyum tawa mereka tergambar keinginan yang begitu dalam
tepuk dan lagu TPA begitu membahana penuh makna
lafal doa-doa terhafal dengan syahdu
“Allahu Akbar…”
begitu membahana terpantul di sudut-sudut mushalla kecil
mushalla di ujung area pembuangan sampah
meski terkadang angin membawa bau yang berbeda
nyamuk dan lalat terkadang beterbangan masuk dan keluar
tak sedikit pun mengurangi semangat anak-anak kecil ini belajar
membaca ayat-ayat suci yang indah penuh arti
menghafalkan gerakan dan doa shalat lima kali sehari
doa iftitah mulai terbaca..
gerakan-gerakan shalat terlaksana..
hingga salam mengakhirinya
kupejamkan mataku ketika tangan-tangan kecil itu menengadah penuh doa
air mata ini menetes keharuan
mengingat mereka anak-anak yang setiap hari bermain dengan tumpukan sampah
mereka anak-anak yang ceria, tak peduli dengan bau yang menyengat dan logam-logam yang berkarat serta pecahan-pecahan kaca yang berhambur dengan bungkusan plastik sampai organik
rumah kecil berdinding papan yang tak beraturan
lubang-lubang kecil menjadi jalan tetesan hujan
tak peduli mereka dengan semua itu, yang aku tahu
mereka bahagia terlihat dari tawa canda merekah
tapi…pernah siang itu di sekolahan, mereka menangis di hadapanku
“ibu…aku dibilang bau sampah”
“iya…bu, mereka menyebutku pemulung”
aku mencoba menyeka air mata mereka, berusaha tersenyum meski hatiku tidak terima.
“sayang…’gak pa-pa kok dibilang pemulung, yang penting yang dipungut kebaikan-kebaikan nanti malah baunya surga loh, wangi dan yang pasti disayang Allah dan disayang sama semua..termasuk ibu guru selalu menyayangi kalian baik di sekolahan ataupun di mushalla”
aku ingat ucapanku tadi membuat mereka tersenyum kembali
Kuhela dalam nafas panjang
Ya Rabbi…terima kasih…
dengan cara-Mu Engkau membuatku kembali menata hidup dan tujuanku
karena Lewat mereka Kau Mengingatkanku untuk selalu bersyukur melewati bait-bait hidupku
dengan cara-Mu Engkau berikan kesempatan ladang amal yang luas
karena lewat mereka, kita bisa berbagi, meringankan beban dalam kehidupan
istiqamahkan hati ini selalu ke jalan-Mu ya Rabbi
jalan yang penuh cahaya putih..suci..dan indah
Kupegang teguh Pesan nabi Tidak boleh iri kecuali kepada dua golongan
Orang kaya yang murah berbagi hartanya
Orang pintar yang murah berbagi ilmunya
“Ya Rabbi…
aku kini iri…
karena diri ini pun masih terus belajar
untuk mampu membimbing mereka untuk lebih mengenal Agama-Mu
tawa ria kecil mereka adalah semangatku
ilmu bekal dunia dan akhirat adalah pilar tujuanku
aku ingin mengajari mereka untuk lebih mencintai-Mu
aku hayati penuh Sabda Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasalam
“Sesungguhnya Allah, Para Malaikat, penduduk langit dan bumi, termasuk semut-semut di liangnya dan ikan-ikan senantiasa bershalawat bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi).
tapi…langkah kecil ini yang hanya aku mampu lakukan untuk mereka
Aku ingin selalu berusaha mengajari mereka ya Rabb,
izinkan aku mampu ya Rabbi.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

Aku, Menjadi Intan

Aku, Menjadi Intan

Oleh: Khaulah Naqiyyah Farhana
 
“Assalamu’alaikum Farin…” seseorang menepukku dari belakang. Seorang wanita rupanya, ialah pemilik suara itu.
“Wa’alaikumsalam… eh Nabila, ada apa ya?” tanyaku agak heran karena jarang sekali kami mengobrol.
“Eh, enggak, nanti kamu ada acara enggak hari Minggu ini? Rencananya aku dan beberapa teman akan mengadakan pertemuan halaqah gabungan gitu di fakultas, dan mengajak para remaja lainnya… bagaimana?”
Kulihat dari matanya, ada sedikit keragu-raguan dari cara pandang yang sayu itu. Matanya memang terlihat seperti itu sejak aku mengenalnya. Bukan, bukan sayu yang sebenarnya, melainkan seperti ada sesuatu yang amat lembut yang memancar dari cara dia menatap. Entah, belum pernah aku lihat cara pandang mata yang seperti itu dari teman-temanku yang lain.
“Ehm, hari Minggu yah? Sepertinya enggak ada acara deh, halaqah? Itu acara apa yah?” tanyaku yang baru pertama kali mendengar kata “halaqah”.
“Hm, halaqah itu suatu perkumpulan remaja muslim, biasanya dibina oleh murabbi yang sudah biasa menjadi musyrif di kelompok-kelompok halaqah lainnya…”
“Aduhh, aku makin enggak ngerti deh kamu ngomong apa barusan? Musyrik? Bukannya itu orang kafir yah?” pertanyaanku semakin ngawur bersamaan dengan banyaknya kosakata baru yang tadi kudengar dari Nabila.
Ia tersenyum menanggapi pertanyaanku yang mungkin serasa lucu didengarnya.
“Insya Allah kamu akan tahu apa itu halaqah saat kamu menghadiri acaranya hari minggu, datang ya… afwan, aku duluan, sudah azan…” sudah Ashar rupanya. Dia melambaikan tangannya mengajak aku ikut ke masjid kampus, senyumnya pun belum juga lepas dari wajah manisnya itu, telunjukku refleks membalas menunjuk ke laptop yang sedang aku pakai dan jam tanganku. Sibuk, itu maksud isyarat tanganku. Aku akan shalat, tapi bukan sekarang.
Nabila adalah temanku satu jurusan di fakultas. Kebetulan kami teman sekelas. Nabila adalah seorang aktivis dakwah di salah satu organisasi kampus. Namanya sudah tidak asing lagi di fakultas, karena eksistensinya di kalangan mahasiswa yang dapat mengobarkan semangat berjihad. Itu menurut temanku.
Aku sendiri baru mengenalnya beberapa minggu lalu. Awalnya aku pun tidak tertarik untuk mengetahui tentangnya, namun ternyata takdir mempertemukanku. Ibuku merupakan teman satu kuliah dengan ibunya Nabila. Tiga minggu yang lalu, ibu secara tidak sengaja bertemu dengan bu Ratna, nama ibu Nabila. Mau tak mau, aku pun mengenalnya.
Meskipun saling kenal, kami tak pernah sekalipun saling sapa. Aku agak risih juga jika bersama orang yang sangat fanatik tentang Islam. Kebanyakan dari temanku yang fanatik itu, berani dengan angkuhnya mengekslusifkan diri. Merasa sudah benar menjadi manusia yang taat, padahal minum saja terkadang masih berdiri.
Akhirnya hari Minggu mendatangiku. Aku izin ke ibu. Kukatakan yang sebenarnya. Entah sebab apa, ibu terlihat senang sekali saat aku bilang akan menghadiri perkumpulan halaqah. Ternyata ibu selama ini memang menghadapkanku untuk mengikuti kegiatan tersebut. Siapa yang tahu, jika ibu tidak pernah mengatakan?
Aku diantar oleh bang Sabiq, kakakku satu-satunya. Enak juga punya kakak yang bisa diandalkan, pikirku. Abang sabiq mengantarkanku sampai ke depan gerbang kampus. Aku sedikit terburu-buru sesaat setelah pamit dan salim ke bang Sabiq, takut terlambat.
Mungkin acara baru saja dimulai saat aku datang. Aku masih bisa mendengar sayup-sayup mc yang baru saja membuka acara dengan ucapan salam. Aku segera melihat sekeliling yang sudah ramai dipenuhi para wanita berjilbab lebar-lebar, jilbaber sebutannya.
Akhirnya kami memasuki ke acara inti. Terus terang, baru kuketahui bahwa acara halaqah nyaris mirip dengan acara diskusi yang biasa aku lakukan di kampus. Bedanya hanya pada adanya murabbi atau pembimbing di dalam sebuah halaqah. Mungkin kegiatan seperti ini bisa aku teruskan, toh tidak ada salahnya menambah ilmu.
Tidak terasa sudah sebulan aku mengikuti kegiatan halaqah ini. Lama-kelamaan aku mulai malu mengenakan jilbab yang sangat standar dibandingkan teman-teman yang lain di halaqah. Aku mulai mencoba mengenakan jilbab yang agak lebar. Namun rasa malu terhadap pandangan teman-teman atas perubahanku ini masih aku rasakan.
Hingga di suatu pagi selepas shalat subuh berjamaah ada seorang perempuan sekelasku mengajak ngobrol, Indah namanya. Awalnya kami mengobrol biasa saja hingga aku melepas mukenaku dan dia agak sedikit terperangah juga melihat jilbabku yang lebar itu. Tanpa memikirkan perasaanku dia berkata
“Ih Rin, kamu kenapa sih, ko berubah seperti ini?”
Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan sekaligus kaget. Belum sempat aku menjawab, ia sudah meneruskan rentetan kata-kata lagi. Ini yang paling menyakitkan.
“Kalau seperti ini, sama saja kamu tuh menjiplak si Nabila, tahu enggak!”
“Ya bukan seperti itu niatnya, aku cuma ingin menjadi lebih baik saja. Toh aku mengetahui bahwa seharusnya wanita itu lebih menjaga…”
“Ya tapi enggak nyaris mirip seperti Nabila juga kan? Kamu tuh jadi seperti ngikutin Nabila tahu enggak!”
Mungkin seketika aku ingin berkata seharusnya dia menyaring kata-katanya sebelum berkata demikian. Percakapan itu masih berlanjut.
“Bukan seperti itu niatku… aku seharusnya memulai ini dari dulu… memangnya kamu tidak suka dengan perubahanku ini?”
Pertanyaanku agak sedih. Ternyata teman dekatku yang aku pikir akan mendukungku justru menjadi cobaan buatku.
“Iyalah, masa Farin yang dulu aku kenal, jadi plagiat seperti ini sih?”
Dia masih menunjukkan rasa yang amat tidak suka. Aku hanya tertunduk sambil membalas kata-katanya.
“Kenapa seperti itu ndah? Aku pikir kamu akan mendukung perbaikanku ini, ternyata malah sebaliknya. Kalau kamu berpikir demikian, ternyata aku harus lebih dulu berdakwah untuk temanku, yaitu kamu. Bukan untuk orang lain dulu.”
“Ya sudah, yang pasti kamu itu menjiplak si Nabila. Aku enggak suka dengan plagiat!”
Indah pergi meninggalkanku. Ia tidak peduli padaku yang sudah sendiri di dalam masjid kampus. Hatiku panas, sakit sekali rasanya. Ternyata memang susah untuk mempertahankan perubahan yang baik ini. Yang aku sayangkan adalah cobaan itu datang kepadaku melalui teman dekatku. Mengapa harus dia yang mengatakannya ya Allah…
Minggu pagi itu Indah meninggalkanku. Biasanya kami selalu jalan-jalan pagi selepas shalat subuh setiap minggu. Kebetulan kami satu organisasi dan sering menginap di kampus untuk mengejar deadline tugas. Namun tidak pagi ini. Aku tak dapat menahan air mataku karena menahan marah dan juga kecewa terhadap kata-kata indah.
“Ya Allah, kenapa justru cobaan itu datang dari temanku sendiri….?”
Aku terus berdoa dan memohon untuk tetap selalu istiqamah dalam dakwah ini.
Di suatu siang, aku sedang berdiskusi dengan Nabila.
“Nabila, aku ingin menanyakan satu pertanyaan kepadamu, boleh?” tanyaku agak segan bertanya kepadanya.
“Boleh, ingin bertanya tentang apa?”
“Tentang keistiqamahan kamu… kamu pernah tidak mengalami kesulitan saat kamu mengenakan jilbab yang sangat lebar itu? Maksudnya, pernah tidak ada orang yang tidak suka dengan penampilanmu yang seperti ini? Dan satu lagi, mengapa kamu sampai bisa beristiqamah hingga detik ini?”
Nabila tersenyum dan mengambil napas beberapa detik.
“Pernah… dulu, sewaktu aku SMA, ada guru olahraga yang terlihat sangat tidak suka terhadap apa yang aku pakai saat pelajaran olahraga. Aku memakai kaos lagi di dalam baju olahragaku yang pendek itu. Niatku Cuma satu, yaitu menutupi bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh baju olahraga. Namun sepertinya guru itu tidak suka. Mungkin baginya aku telah berbuat tidak sopan terhadap mata pelajarannya. Guru itu selalu tidak pernah menganggapku ada setiap kali pelajarannya. Hingga aku pun bertanya kepada ummiku, bagaimana caranya menanggapi seseorang yang tidak suka terhadap kita… ummi mengatakan bahwa kita harus tetap tersenyum kepada siapapun, entah orang itu menyukai ataupun membenci kita. Jangan pernah membenci orang lain… Minggu demi minggu aku selalu menanggapi setiap tanggapan orang lain dengan tersenyum, hingga akhirnya guru itupun menjadi ramah terhadapku. Mungkin ia berpikir, bukan suatu kesalahan bahwa anak didiknya ada yang ingin lebih menjaga sesuatu yang dimilikinya…”
“Subhanallah… lalu, mengapa kamu bisa sampai istiqamah sampai detik ini?”
“Niatanku hanya satu, yaitu Allah Ta’ala…”
“Maksudnya?” aku tak mengerti.
“Niatku untuk tetap istiqamah adalah aku ingin menjadi muslimah sejati yang hanya mencintai Allah. Aku ingin menjadi muslimah terbaik di hadapan Allah. Hanya itu….”
“Subhanallah,”
Hanya kalimat itu yang menghiasi lisanku. Aku baru sekali ini menemui seorang perempuan yang memiliki niat tulus yang sangat suci. Perjuangan selanjutnya adalah keistiqamahanku dalam menghadapi berbagai ujian yang akan Allah berikan padaku. Aku juga ingin menjadi muslimah terbaik untuk Allah. Karena bagiku, ini adalah jalan untuk meniti rasa cinta kepada Allah. Aku yakin, barang siapa memudahkan urusan Allah, maka Allah pun akan mempermudah urusannya. Wallahu’alam.

Sumber: http://www.dakwatuna.com

KU TITIPKAN DIA PADA-MU

KU TITIPKAN DIA PADA-MU
Cerpen Putri Rahmawati

Pemuda itu namanya hamdan. Dia seorang pemuda yang tekun beribadah, rajin mengaji tidak banyak cakap tapi pekerja keras kalau kata iklan “talk less do more”, mudah bergaul, ramah, baik hati dan tidak sombong, gemar manabung ga ya??? Tapi dia bukan berasal dari keluarga ulama melainkan dari keluarga yang biasa-biasa saja semangat ibadahnya.

Dialah yang jadi penyemangat ibadah keluarganya. Pada suatu hari…di masjid hamdan biasa mengaji datanglah seorang gadis cantik, sholehah, dia juga seorang mubalighod. Gadis itu berasal dari kota sebrang. Ketika melihat gadis itu hati hamdan langsung bergetar tapi dengan cepat hamdan langsung menundukkan pandangan kemudian berpaling dari gadis itu, hamdan takut pandangannya berubah jadi nafsu yang di hias-hiasi syaiton.

Hamdan memang sangat taat beribadah termasuk dalam menjaga hatinya dari cinta yang belum waktunya. Memang gadis itu dambaan semua pria termasuk hamdan. Hamdan berkata dalam hati “Subhanalloh gadis itu cantik sekali tapi sayang aku bukan siapa-siapanya dan tidak berhak memandangnya terlalu lama”. Hari demi hari akhirnya hamdan kenal dan akrab dengan gadis itu karna setiap acara pengajian mereka selalu bertemu.


Owh iya lupa nama gadis itu dini. Dini mulai akrab dan terbiasa dengan teman-teman barunya termasuk hamdan. Hamdan pun senang karena bisa akrab dengan dini, tapi hamdan selalu berusaha menetralisir hatinya terhadap dini karena hamdan belum berani mengubah rasa senang itu menjadi cinta. Hamdan punya anggapan bahwa berani mencintai harus berani menikahi sehingga cinta itu bisa terjaga dari godaan syaiton, sedangkan pada saat itu hamdan merasa belum mampu untuk menikah.

Dalam do’anya hamdan selalu meminta pada Alloh, berikut isi do’a hamdan kepada Alloh :
“Ya Alloh aku menyukai seorang gadis bernama dini, tapi demi menjaga hatiku agar selalu tetap mencintaiMU, agar bisa jauh dari nafsu semata, agar tetap bisa menjalankan perintahMU bahwa jangan dekat-dekat dengan zina aku belum berani mencintainya, karena saat ini aku merasa belum mampu untuk menjadi halal baginya. Semua ini aku lakukan karena cintaku padaMU jauh lebih besar Ya Alloh jadi aku berusaha mengalahkan syaiton yang menggoda imanku dengan cintaMU. Maka dari itu aku menitipkan dia padaMU karna dia seutuhnya milikMU dan pada saat aku siap menjadi halal baginya dengan ridhoMU aku ingin meminta dia dariMU dan semoga engkau masih menjaganya untukku, jadikan dia jodoh yang baik bagiku. Saat ini aku ingin mempersiapkan diri menjadi pribadi yang lebih baik untuknya. Apabila di tengah jalan dia diambil orang itu semua di luar kuasaku melainkan di dalam kuasaMU, yang pasti demi menjaga hatiku pada Alloh aku sudah memintanya padaMU lebih dulu dan aku yakin Alloh meridhoi niat baikku ini…Amiiin”

Hari demi hari tidak ada hubungan yang special antara hamdan dan dini, tidak ada komunikasi yang berarti kecuali masalah-masalah penting mengenai kegiatan-kegiatan masjid. Dini pun sama sekali tidak merasa kalau hamdan menyukainya karna sikap hamdan yang biasa-biasa saja. Banyak pria yang mengungkapkan rasa cintanya pada dini, baik itu yang sudah siap nikah maupun hanya sekedar suka-sukaan, hamdan pun mengetahuinya namun dia tetap percaya pada do’anya dan membiarkan dini dengan pilihannya. Tapi ternyata di antara sekian banyak pria yang menyatakan cinta pada dini belum ada yang membuat dini tertarik karena pada saat itu dia juga belum siap untuk menikah. Akhirnya keberanian hamdan untuk mewujudkan keinginanya terkumpul sudah, dan pada saat itu sepengetahuan hamdan dini sedang tidak dekat dengan siapa-siapa, sehingga hamdan mulai merutinkan sholat iskhoroh untuk dini sampai kira-kira satu bulan lamanya. Setelah benar-benar merasa yakin hamdan memberanikan diri mengutarakan isi hatinya pada dini, bukan tentang perasaannya terhadap dini melainkan tentang niatnya untuk melamar dini. Pada saat itu hamdan menemui dini di rumahnya bersama temannya. “Assalamu’alaikum”
“Waalaikumussalam”
“Din bisa ganggu sebentar”
“Ada apa mas”
“Ada yang mau saya bicarakan”
“Owh ya udah masuk aja mas”
“Terimakasih”
“Ehhhmm gini din niat saya kesini mau menyampaikan sesuatu”
“Menyampaikan apa mas”
“Saya berniat melamar kamu din”

Pada saat dini mendengar niat hamdan untuk melamarnya dini kaget bukan kepalang. Selama ini hamdan tak pernah terlintas sama sekali di pikirannya apalagi di hatinya meskipun dia tau hamdan orang yang baik. Tapi dini berusaha menghargai niat hamdan, dia bertanya pada hamdan
“sampeyan benar-benar yakin mas mau melamar aku??”
“Iya saya yakin din”
“apapun hasilnya?”
“iya apapun hasilnya saya terima, itu semua di dalam kuasa Alloh saya hanya bisa mengusahakannya”
“Baiklah saya menghargai niat baik sampeyan, tapi saat ini saya belum siap menikah sampai tahun depan, kalau sampeyan mau menunggu saya silahkan tapi kalau engga juga ga apa-apa, jodoh itu kuasa Alloh”
“Baiklah saya terima keputusan kamu din, kita serahkan semua pada Alloh, terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengutarakan niat baik saya ini”
“Iya sama-sama”
“Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”

Setelah mendengar jawaban dini hamdan dan temannya pamit pulang. Dalam hati hamdan sedih tapi dia juga senang karena pada dasarnya dini tidak menolaknya hanya menunda keputusannya, dia masih yakin dengan do’anya. Dini pun masih terkaget-kaget dengan sikap hamdan padanya, dia cerita dengan beberapa teman dekatnya mengenai hamdan. Teman-temannya yang juga mengenal hamdan menyarankan supaya dini menerima lamarannya. Dini pun bingung, akhirnya dia mencoba merutinkan istikhoroh untuk hamdan. Tapi lama kelamaan tidak ada kabar lagi dari hamdan. Seperti ada penyesalan di hati dini kenapa dulu tidak menerima lamaran hamdan karena sekarang dini merasa hamdan menjauh darinya. Akhirnya setelah beberapa bulan tidak ada kabar hamdan datang lagi pada dini dan masih mengutarakan niat yang sama. Dini pun merasa yakin bahwa hamdan tidak main-main, Akhirnya dini menerima lamaran hamdan dan mereka pun menikah dengan ridhonya Alloh. Hati mereka selama ini sama-sama terjaga hingga akhirnya di persatukan dalam ikatan yang suci.

3 HARI BERSAMA MEREKA

3 HARI BERSAMA MEREKA
Cerpen Dita Fadhilah Azri

Siang ini semua masih biasa dengan siang-siang sebelumnya. Siang ini masih terasa panas. Siang ini matahari masih setia melakukan tugasnya. Siang ini ozon yang membolong masih tetap tak mampu menahan sinar ultraviolet –malah bertambah parah-

Tapi ada yang tidak biasa di siang ini. Dua gadis yang masih memakai seragam sekolah mereka, kelihatan celingak-celinguk memperhatikan orang-orang yang berseliweran di daerah lampu merah itu, seperti ada yang mereka cari.
“Jadi lo mau nge-riset tentang apa nich Sa?” satu dari dua gadis itu membuka suara lebih dulu “gue kayaknya uda dapet dech” lanjutnya tapi dengan suara yang mengandung keraguan.
“Belum tau  Re, masih bingung gue” satunya lagi menanggapi dengan suara bernada hampir putus asa “emang lo mau riset siapa?”
“Tapi lo jangan ketawa ya!?”
“Iya”
“Tuh..” gadis itu menunjuk ke arah laki-laki yang memakai dress bling-bling, berdandan norak dan memakai wig.

Salsa langsung terkejut, tercengang, tak percaya dan bengong dalam waktu bersamaan. Sesaat kemudian tak ada tanda-tanda dia mau menertawakan “pilihan” yang akan di-riset oleh Rena. Dan memang dia tidak akan melakukan itu, yang terjadi justru sebaliknya. Dia sangat takut dengan manusia peralihan seperti itu.
“Sa….” Yang dipanggil tak menyahut. “SALSA!!” ulang Rena dengan nada gila-gilaan, kontan yang dipanggil tersentak kaget.
“Apaan sich lo? Lo kira gue budek kayak elo?”
“Hehe, sory…. Abis lo dipanggil sekali gak ngeh. Kenapa sich liatin itu mas-mas eh itu mbak-mbak sampe segitunya?”
“Gue masih trauma ama banci, karena waktu TK dulu gue hampir diculik ama makhluk peralihan kayak gitu, untung aja ada yang jaga warung sekitar situ curiga gue datarik-tarik masuk taksi, terus dia langsung teriak-teriak dan ngedatangi gue terus ngerebut gue dari tu banci, jadinya selamat dech gue”

Cerpen Remaja Islami - 3 Hari Bersama Mereka

Dengan wajah prihatin yang dibuat-buat Rena berkata dengan nada simpati, “Tragis amat kisah lo sob, huhu, terharu gue. Kayak……cerita di sinetron. Hahahaha”
“Iyah, ketawa terus. Puas-puasin aja lo ngetawai gue” Tapi orang yang dimaksud Salsa dalam sindirannya malah nyengir-nyegir kuda. “Lagian kenapa sich lo milih makhluk peralihan gitu buat diwawancari dalam riset lo?”
“Yaaaa soalnya kan jarang banget tuh yang kepikiran kalau salah satu human trafficking itu mbak jadi-jadian kayak gitu”
“Emmm gitu ya?”
“Gak usah pasang tampang oon gitu dech, karena muka lo uda oon dari sono nya” Rena mencibir, sementara Salsa mendengus kesal. “Kan biasanya orang pada mikir kalau makhluk peralihan kayak gitu tu pada suka mangkal bukannya ngamen di traffic light kayak gini” lanjutnya kemudian dengan nada mantap, yang diberi penjelasan cuma manggut-manggut aja.
“Iya deh, gue manut aja sama elo. Kalau gue bilang gak bisa habis pala gue lo jitakin”
“Bagus, yauda yok!!” Rena menarik tangan Salsa.
“Eh….eh…. mau lo ajak ke mana gue?” Salsa mempertahankan posisinya
“Ya mau wawancarain tu mbak-mbak la”
“Ogah ah,” muka Salsa pucat “lo aja sendiri. Gue nunggu di sini”
“Lo gak kenapa-napa nunggu di sini sendirian?”
“Justru kalau gue ikut lo ke sana gue malah kenapa-napa. Mending gue di sini aja dech, sekalian nyari-nyari inspirasi apa yang mau gue riset.”
“Ya uda, gue ke sana dulu ya..” Rena pergi ke arah mbak-mas itu.

Salsa menunggu Rena di tempat mereka mengintai tadi. Matanya tertuju ke depan, namun telinganya  masih dapat menangkap dialog Rena dengan makhluk yang menjadi pobia-nya itu. Rena mulai memperkenalkan diri. Memperlihatkan identitas diri dan surat ijin dari Pak Radit untuk melakukan riset ini. Dan mulailah meluncur pertanyaan demi pertanyaan.

Di saat itulah, saat matanya tertuju kedepan itu, walaupun pandangannya terhalang sesekali oleh mobil yang berseliweran, dia melihat sesuatu yang agak menarik perhatiannya.

Agak menjorok ke dalam dari pasar besar, di arah menuju perkampungan kumuh, berdiri sebuah tenda. Tenda sederhana yang hanya terdiri dari terpal biru yang biasa dipakai oleh tukang angkut sayur di gerobaknya dan hanya di sangga oleh tiang dari bambu seperlunya. Di bawah tenda itu tersusun meja-meja dan kursi-kursi panjang-yang bisa diduduki oleh beberapa orang- yang sekarang dihuni oleh anak-anak yang berpakaian kumal. Dan di depan mereka, ada seorang pria seperti seorang guru, berdiri dan tampak menunjuk-nunjuk papan tulis sambil menjelaskan sesuatu.

Dia penasaran. Sambil berjalan hendak menyeberangi jalan, dia sedikit berteriak pada Rena “Re, gue ke sana bentar” katanya sambil menunjuk ke depan. Yang diteriaki cuma mengangguk sekilas karena dia sendiri pun sedang berkonsentrasi pada wawancaranya.

Dia berhasil sampai di seberang, dan segera melangkah mendekati tenda itu. Tapi gadis itu tidak langsung mendatangi tenda itu. Dia berdiri mengamati dari jarak yang cukup jelas untuk melihat ke sana dan tidak mengundang kecurigaan. Tiba-tiba ada seorang ibu separuh baya berjalan hendak melawatinya. “Pas, ada tempat untuk bertanya” pikirnya.
“Maaf buk, saya boleh nanyak?” Salsa langsung  menghentikan langkah si ibu begitu si ibu lewat di depannya.
“Mau nanyak ape neng?” Hwa, ternyata tu ibuk turunan betawi.
“Mmmm, itu kegiatan apa ya kalau boleh tau?”
“Oh ntu, ntu mah ude biyase tiap harinye begono. Anak-anak di mari pade belajar bace ame nulis.”
“Hari minggu juga?”
“Iye, tapi kayaknye kalau hari minggu pade ngegambar atau buat-buat ape gitu.”
“Kira-kira mereka ngumpul gitu jam berapa ya buk?”
“Biyasenye sih sebelum zuhur tu anak-anak ude pade bedatangan, soalnye sebelum belajar ntu guru pasti ngajak anak-anak shalat berjamaah di mushallah dekat situ.”
“Oh gitu, kalau gitu makasih ya buk” Salsa menanggapi sambil tersenyum sama si ibuk.
“Iye, same-same” Si ibuk pun menyahut sambil berlalu.

Salsa masih senyum, “Nice!!” serunya dalam hati. Dan dengan langkah riang, dia kembali ke tempat dimana dia menunggu Rena tadi. Dan sekarang ganti Rena yang menunggunya.
“Uda siap wawancaranya Re?” Salsa langsung bertanya pada Rena begitu dia berhasil menyeberang kembali.
“Uda. Besok gue tinggal ngikuti kegiatannya dia, sambil dokumentasi beberapa yang perlu. Habis itu gue bisa langsung nulis essay-nya.” Rena menjelaskan “Lo sendiri gimana? Kayaknya cerah banget ni, uda dapat inspirasi ya?” Kali ini Rena menebak sambil senyum.
“Hehe. Emang uda”
“Apaan?” Tanya Reena penasaran
“Lo liat dech Re, ke seberang jalan situ.”

Rena menajamkan penglihatan. Dilihatnya ke arah yang ditunjuk Salsa. Dan karena memang Rena gak rabun, tentu saja yang dilihatnya sama persis seperti yang diamati Salsa tadi.
“Pondok belajar anak-anak jalanan itu?” Rena mengernyitkan dahi, Salsa mengangguk. “Bukannya tema kayak gitu uda biasa banget ya Sa?”
“Kalau temanya uda biasa, tapi cara mengamati, meriset dan nulisnya jadi essay dengan cara yang berbeda, hasilnya jadi gak biasa kan?” Salsa meyakinkan Rena
“Iyah, kalau elo yang ngamati, ngeriset dan nulis essay-nya hasilnya memang bakal jadi gak biasa. Jadi makin hancur dari kebanyakan orang yang uda nulis itu, gitu kan maksud lo?”

Dug!!
Satu jitakan telak dari Salsa singgah di kepala Rena. Rena cuma bisa meringis karena kesakitan, tapi sambil cengar-cengir. Senang juga dia karena berhasil menggoda Salsa, temannya dari jaman masuk SMP dulu.
“Tega lo sama temen sendiri” tampang Salsa mulai memprihatinkan.
“Ouuu, cup cup. Maaf dech Sa. Jangan patah semangat gitu donk. Gue gak maksud koq nyurutin semangat lo. Gue bakal nge-dukung apa pun yang bakalan lo lakuin asal itu bener. Okey?” Rena membujuk Salsa “Keep Smile!”

Selalu ada maaf untuk teman. Seberapa besar pun kesalahannya, selalu ada celah yang membuat kita tidak tahan berlama-lama mendiamkannya. Walaupun kadang dia menjengkelkan, tapi justru dia yang menghadirkan tawa dalam hidup kita. Menyeka air mata kita, memberi semangat saat kita jatuh, dan menawarkan sejuta bantuannya saat kita terpuruk.
“Iyah deh. Besok kita ke sini lagi kan?” tampang memprihatinkan Salsa mulai hilang dan perlahan digantikan oleh senyum.
“Jelas donk. Gue juga kan belum siap seluruhnya riset tentang mas-mas itu. Lagipula gue kan mesti nemenin lo buat nyiapin riset lo.”
“Lo manggil dia mas-mas? Gak mbak-mbak lagi? Emang dia gak marah?”
“Dia bukan beneran banci lagi Sa, dia gitu cuma waktu ngamen doank. Lo tau gak, ternyata dia itu uda mahasiswa. Dan dia ngamen buat nutupi kekurangan kiriman orang tuanya di kampung tiap bulannya. Katanya sich, kalau dia ngamen bentuknya dalam wujud asli alias cowok, orang-orang pada nyangka kalau di itu copet di balik topeng pengamen. Makanya dia dandan gitu. Terus katanya lagi nih, hasilnya lumayan juga, soalnya orang-orang pada ketawa kalau liat dia lagi show, haha” Rena semangat banget dengan ceritanya.
“Menarik juga cerita tu orang.” Salsa bergumam “Pulang yuk Re, uda hampir jam tiga nih. Ntar lo dicariin ibuk kost lo lagi.”
“Ya udah yuk”

Mereka berdua jalan ke arah dimana motor Salsa mereka parkirkan. Tanpa banyak kata-kata lagi, Salsa memacu sepeda motornya dengan Rena di boncengan. Jilbab keduanya melambai-lambai terkena tiupan angin.

Salsa terlebih dahulu mengantar Rena ke kost-annya. Setelah beramah tamah sebentar dengan ibuk kostnya Rena, dia melanjutkan memacu motornya ke arah  rumahnya yang cuma berjarak satu kilometer dari kost-an Rena.
***

Seperti siang kemarin, sepulang sekolah dan terlebih dahulu menyempatkan diri shalat zuhur di mushallah sekolah, kedua gadis itu kembali lagi ke daerah lampu merah itu. Rena-seperti rencananya kemarin- mengikuti mas-mas yang berdandan norak itu. Sementara Salsa kembali lagi ke pondok belajar itu. Tidak seperti kemarin yang hanya mengamati, hari ini dia mendatangi pondok belajar itu. Tapi tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada buku-buku lusuh dan pensil di atas meja-meja, Koran-koran yang belum terjual bersama dagangan asongan di sudut-sudut tenda.
“Mungkin lagi shalat” Salsa meyakinkan diri sendiri dalam hati “tunggu aja dech”. Dan benar saja tak lama kemudian terdengar langkah kaki beberapa orang diiringi dengan celoteh anak-anak. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan Salsa. Beberapa bahkan bertanya pada pria yang dianggap Salsa guru anak-anak itu, “Kak, itu siapa?” Salsa tersenyum menanggapi kebingungan mata-mata di depannya itu.
“Kalian duduk dulu ya di kursi masing-masing” anak-anak itu menurut pada guru mereka.
“Sebentar mbak” Kemudian dia mengajak Salsa agak menepi.
“Kalau boleh tau…”
“Saya Salsa Nur Atifah” Salsa memotong perkataan laki-laki itu dengan memperkenalkan diri tapi tanpa mengulurkan tangan. Dia yakin laki-laki di hadapannya itu takkan tersinggung dengan yang dilakukannya, karena dia juga yakin laki-laki ini paham dengan hal yang seperti itu, terbaca dari wajahnya yang bercahaya.
“Saya Al Ghiffary”
“Mmmm, Saya dari SMA Pendiri Bangsa” Salsa menunjukkan KTS-nya
“Saya percaya koq, keliatan dari simbol kamu” Al menunjuk lengan kanan Salsa sambil tersenyum “Itu kan sekolah-nya famous banget”

Salsa senyum, sambil menarik kembali KTS-nya. “Ngg, gini, sebagai tugas akhir semester genap angkatan saya dapat tugas dari guru sosiologi kami mengenai riset tentang jenjang sosial. Dan saya kebagian tema human trafficking. Jadi….”
“Jadi kamu mau riset pondok belajat dan anak-anak ini?” Sekarang ganti Al yang memotong perkataan Salsa.

Salsa hanya mengangguk. “Huft…..untung dia ngerti, jadi gak capek-capek ngejelasin” Salsa bersyukur dalam hati. “Ini surat ijin dari guru dan sekolah” Salsa berkata sambil menyerahkan kertas yang dibagikan oleh Pak Radit di hari dia memberikan tugas itu. Al mengangguk-angguk pelan.
“Oke, kamu boleh mengamati kegiatan kami di sini sampai essay kamu selesai” Al cepat tanggap membaca isi surat itu
“Makasih” Salsa tersenyum lega dan puas. Al melanjutkan tugasnya seperti biasa, menjelaskan pengetahuan-pengetahuan umum pada anak-anak jalanan itu dan menjelaskan lebih men-detail bila ada yang bertanya. Disamping itu, dia masih harus membimbing anak-anak yang masih buta huruf. Baik itu buta huruf latin maupun buta huruf hijaiyah.

Sementara Salsa mengeluarkan note dan kamera digital yang dipinjamnya dari mas Adit, kakak laki-laki Salsa satu-satunya. Dia mencatat hal-hal yang dianggapnya perlu, pantas diingat dan pantas diikutsertakan dalam essay-nya nanti. Sesekali dia mengabadikan cara anak-anak itu belajar dengan kameranya, ketika mereka mengacungkan tangan untuk bertanya maupun menjawab pertanyaan dari Al, saat wajah-wajah kebingungan mereka muncul ketika ada yang tidak dipahami dan tidak dapat dicerna seluruhnya oleh otak anak-anak mereka dan lain sebagainya.

Hari menjelang sore. Anak-anak itu mulai memberesi buku-buku lusuh mereka dan juga barang-barang dagangan mereka. Tak lama kemudian, anak-anak itu sudah benar-benar bubar, ada yang sepertinya kembali ke rumah ada juga yang melanjutkan menjajakan dagangannya lagi atau melanjutkan mengamennya. Tinggal Al dan Salsa di pondok belajar itu.
“Gak bosen cuma liatin kami sambil nulis dan moto-moto doank?” Al membuka suara
“mmmm, hehe, sebenernya sich iya, bosen” aku Salsa malu.
“Kenapa besok gak nyoba aja ngajari mereka?”
“Ide bagus!!” sahut Salsa senang, tapi sedetik kemudian ada nada keraguan “eeehh, emang boleh?” tanyanya takut-takut
“Ya jelas boleh la,” Al senyum “Kamu liat kan aku cuma sendiri ngajari mereka, pasti bakalan bekurang repotnya kalau kamu bantuin, hehe. Walaupun ya cuma beberapa hari ini”
“Aku dijadiin azas manfaat donk?” Salsa cemberut
“Haha, ya gak la. Kamu nanti bisa nulis bagian ini di essay kamu. Jadi untung buat kamu juga kan?”
“mmmm, iya uga sich. Hehe, thanks ya, itu saran bagus banget” Salsa cerah kembali “by the way, kita pake aku-kamu nih, gak saya-saya’an lagi?”
“Kenapa?” Al tersenyum geli
“Kayaknya kamu lebih tua dari aku, gak sopan kan kalau kamu-kamu’in yang lebih tua”
“Emang aku setua itu apa, haha. Panggil kakak atau mas juga boleh dech”

Suasana mencair, Al lalu bercerita kalau dia mahasiswa jurusan psikologi tahun pertama, yang berarti baru aja menuntaskan masa-masa SMA-nya tepat saat Salsa baru merasakan masa-masa yang dirasakan Al dulu. Lalu tentang dia yang mengajari anak-anak tiap hari, bagaimana awalnya dia tertarik mengabdikan diri di sini, bagaimana dia menyesuaikan waktu kuliahnya dengan waktu mengajari anak-anak itu, dan seterusnya, dan seterusnya.

Salsa sendiri heran mengapa dia bisa ngobrol sedekat ini dengan Al. padahal dengan mas-nya sendiri aja-yang umurnya gak jauh beda dari Al- dia gak pernah seperti ini.

Obrolan mereka memang dekat tapi bukan berarti jarak mereka duduk juga dekat. Al duduk di bangku terdepan yang dianggap oleh anak-anak jalanan itu bangku guru mereka, sementara Salsa duduk di kursi deretan kedua dimana anak-anak yang barusan bubar tadi belajar. Sejak awal Salsa memang sudah yakin seperti apa Al.

Di saat mereka ngobrol, dan sesekali Salsa bertanya tentang risetnya, Rena muncul. “Assalamualaikum” katanya
“Wa alaikum salam wa rahmatullah” Salsa dan Al menjawab serempak.
“Uda kelar Re?” Salsa bertanya
“Alhamdulillah uda, lo gimana?” Rena balik bertanya
“Kayaknya gue butuh waktu dua hari lagi buat ngamati di sini, sekalian bantu-bantu kak Al ngajari anak-anak”

Rena mengerutkan dahinya.
“Oh iya, gue lupa” Salsa cengengesan “Re, ini kak Al. Yang tiap harinya ngajari anak-anak disini. Kak, Ini Rena sahabat aku dari SMP, kebetulan kita dapat tema yang sama” Rena menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada sambil tersenyum, begitu juga Al.
“Emang biasanya ngajari anak-anak itu selalu sendirian ya mas?” Tanya Rena
“Gak, biasanya gantian sama temen. Namanya kang Rahman, Tapi ini lagi gak bisa masuk istrinya baru melahirkan” Rena ber-ooh.

Tanpa terasa waktu menjelang Ashar. Rena dan Salsa segera berpamitan pada Al. Seperti kemarin, Salsa mengantar Rena terlebih dahulu baru kemudian lanjut ke rumahnya.
***

Hari ini Salsa datang lagi ke pondok belajar itu, tapi ditemani Rena yang riset-nya telah selesai. Setelah shalat berjamaah, proses belajar di mulai seperti biasa. Tapi hari ini anak-anak itu lebih bersemangat. Karena Salsa dan Rena membawa banyak buku-buku bacaan. Walaupun tidak baru, setidaknya buku-buku tersebut masih layak di pakai.

Salsa terharu, agak teriris juga hatinya melihat anak-anak itu begitu senang menerima buku darinya. Tampak bersyukur meskipun yang didapat bukanlah buku baru. Sementara dirinya yang setiap bulan pasti mendapatkan koleksi buku baru-karena Ayah Salsa punya kantor penerbitan buku sendiri- merasa biasa-biasa saja. “Makasih ya kak” tak putus-putus anak-anak itu berterimaksih pada Salsa dan Rena, diiringi dengan senyum tulus.

Sesuai dengan obrolan Salsa dengan Al kemarin, hari ini Salsa membantu mengajari anak-anak. Dia mengajari anak-anak yang belum pandai membaca dengan huruf latin. Sementara Rena yang bacaan Al-Qur’annya dianngap Salsa lebih fasih daripada dirinya sendiri, dibujuk Salsa agar mengajari anak yang belum pandai membaca dengan huruf hijaiyah. Tentu saja Rena senang. Setiap ada kesempatan dakwah, mengajari yang baik, Rena tak pernah ketinggalan. Mungkin itulah sebabnya teman-teman dan kakak-kakak kelas banyak yang memilihnya untuk menjadi ketua rohis.
“Kak, kenapa kakak nutupi kepala pake kain gitu?” Tanya seorang anak perempuan berambut ikal pada Salsa dan Rena.
“Ini ajaran agama kita sayang. Wajib hukumnya bagi setiap muslim memakai jilbab” Rena menjawab dengan senyum
“Ibaratnya gini, kamu  punya mainan yang berharga dan indah, pasti kamu gak mau setiap orang bebas memainkannya, karena nanti bisa kotor, hilang atau sebagainya. Tapi bukan berarti pelit ya sayang. Kita cuma mau menjaga apa yang seharusnya kita jaga dari orang banyak. Mungkin sekarang kamu belum ngerti sepenuhnya, tapi nanti lama-kelamaan kamu akan ngerti sendiri.” Sambung Salsa dengan senyum juga
“Aku juga mau pake jilbab” anak perempuan tadi menyahut
“Aku juga”
“Aku juga” anak-anak perempuan lainnya ikut menyahut
“Subhanallah” Salsa dan Rena takjub sendiri dalam hati
“Tapi…” anak perempuan yang bertanya tadi mendadak sedih “kita gak punya baju panjang dan jilbab seperi itu kak
“Kalian mau pakai jilbab aja itu sudah bagus.” Senyum Rena makin mengembang “Insya Allah besok kakak bawakan baju yang layak untuk kalian pakai ya”

Anak-anak perempuan itu bersorak kegirangan. Salsa dan Rena ikut bahagia. Memang kebahagiaan itu akan lebih bermakna, jika kita membaginya dengan orang lain. Bisa tersenyum bersama bahkan bisa lebih disyukuri daripada dapat undian mobil Avanza tapi hanya tersenyum sendirian. Diam-diam Al pun ikut tersenyum menyaksikan kejadian itu.
***

Esoknya, sesuai janjinya kemarin, Rena membawa pakaian muslim anak-anak satu dus besar di tambah satu kantong plastik yang berukuran agak besar juga berisikan jilba-jilbab. Bukan hanya anak perempuan saja yang kebagian, tapi anak laki-laki juga.
“Dari mana baju sebanyak itu Re” Salsa bingung sendiri
“Hehe, semalam kan Ummi gue nengokin gue ke sini. Nah, malamnya itu gue telpon dulu, bilang kalau lagi butuh baju muslim anak buat dibagi-bagiin. Kebetulan kemarinnya itu habis ada yang donor baju banyak banget, uda dibagi-bagiin ke seluruh anak panti masih belebih, Ya uda deh jadi disalurin ke mari.” Senyum Rena mengembang

Ummi-nya Rena memang mendirikan sebuah panti asuhan disamping rumah mereka. Kadang Salsa berpikir, pantas saja rejeki mereka selalu mengalir, karena mereka memelihara anak yatim.

Karena hari ini hari terakhir yang dijadwalkan Salsa sebagai waktu risetnya, dia seperti tak ingin melewatkan sedetik pun kejadian di pondok belajar ini. Dia mengambil gambar semakin banyak dari biasanya, jarang mengedipkan mata dan selalu memekakan diri terhadap anak-anak yang butuh bantuan.
“Kamu boleh koq ke sini lagi walaupun gak dalam rangka riset lagi, kami gak akan menolak kamu maupun Rena. Malah kami bersyukur karena pondok ini semakin ramai karena ada kalian” Al seperti bisa membaca setiap gerakan Salsa. Dikatakannya kalimat itu ketika anal-anak sudah bubar
“Beneran??” mata Salsa berbinar dan di bibirnya terukir senyum. Al mengangguk. “Makasih ya” sambung Salsa lagi.
“Aku juga makasih ya sama kamu sama Rena juga. Uda bikin anak-anak ceria dalam beberapa hari ini” ucap Al tulus, sekarang gantian Salsa mengangguk.
“Kita pulang sekarang Sa?” Rena yang baru dari kamar kecil muncul dan bertanya tiba-tiba
“Mmmm, boleh. Yuk…” Salsa bangkit dari duduknya “Kak, kita pulang dulu ya, mungkin besok kita belum bisa ke sini, karena besok pengumpulan tugasnya”
“Iya, gak papa. Berarti nanti malam donk nyusun essay-nya. Good luck ya” lagi-lagi Al tersenyum tulus. Salsa mengangguk lalu mengucap salam dan berlalu bersama Rena. Sesaat rasa sepi membayangi Al.
***

Seperti yang dikatakan Al, malam ini Salsa menyusun essay nya, diikutsertakannya juga foto-foto yang diambilnya beberapa hari ini. Karena tugas kali ini berbentuk essay, Salsa bebas menuangkan apa yang dirasakannya selama tiga hari yang membuatnya lebih bersyukur akan hidupnya itu. Sementara Rena, essay-nya sudah selesai dari kemarin.

Pak Radit sangat puas dengan hasil riset kedua gadis itu. Dia berniat berkunjung ke pondok belajar yang ditulus Salsa dalam essay-nya. Dan niat itu tak lama-lama hanya berkumandang di mulut saja, karena besoknya ditemani kedua gadis itu, Pak Radit berkunjung ke pondok belajar Al. Dia membawa banyak coklat, coklat yang hanya dibagikan untuk anak-anak yang berani berbicara di depan kelas. Dan juga banyak buku-buku bacaan.

Menjelang Ashar, Salsa dan Rena pamitan. Sebelum mereka benar-benar pergi, Al memanggil Salsa “Sa, boleh minta nomer handphone kamu? Aku pengen belajar dari kamu gimana caranya membagi kebahagiaan dengan orang lain, kayak kamu bisa bikin bahagia anak-anak itu” Salsa senyum, disebutkannya sederet nomor ponsel.

Perjalanan Salsa pulang ke rumah, di lihatnya sore ini lebih cerah dan indah dari sore-sore yang kemarin. Tak henti-hentinya dia tersenyum. Begitu juga dengan Al. Salsa membayangkan setelah ini hari-harinya akan terisi oleh celoteh anak_anak di pondok belajar itu, juga…. Senyuman tulus Al.

menebar kedamaian

MENEBAR KEDAMIAN

Baru kali ini selama 5 tahun perkawinannya, Astiti benar-benar tidak mengerti dengan tindakan Iwan suaminya. Iwan, seorang lelaki yang alim dan sholeh membuat keputusan untuk mengontrak rumah di daerah yang lingkungannya benar-benar tidak "bersih". Sejak dipindah tugas oleh kantornya di daerah ini, maka mau tidak mau kami harus mencari kontrakan lagi di daerah yang dekat dengan kantor suaminya. Untuk bertahan tinggal di tempat dulu, rasa-rasanya tidak mungkin lagi karena gaji suaminya akan ludes hanya untuk transport dan lagi jaraknya cukup jauh.

Sebenarnya rumah yang akan mereka tempati nanti sangatlah ideal, dan lagi harga sewanya yang cukup murah untuk rumah se type ini, sepetak rumah ukuran 100 meter persegi ditambah pekarangan yang mengelilingi cukup luas. Tempat seperti ini tidak pernah dijumpainya pada "rumah-rumah" nya terdahulu.Tetapi hanya satu yang membuat Astiti tidak suka, yaitu lingkungan sekitarnya yang amat sangat tidak mendukung. Di ujung gang masuk terdapat warung temapt berkumpulnya pemuda-pemuda yang suka mabuk. Kalaulah sudah malam hari suara "genjrang-genjreng" irama musik sangat memekakkan telinga ditambah lagi lingkungan tetangga di daerah ini sangat tidak familiar menurut Astiti. Atau mungkin melihat penampilan Astiti yang lain dari kebanyakan wanita disini dengan menggunakan kerudung yang selalu menutup auratnya. Juga satu lagi yang membuat Astiti paling tidak suka adalah di gang sebelah terdapat sebuah rumah "bordil" sarang maksiyat. Kata orang-orang di sekitar sini rumah bordil tersebut tanpa ijin Pemda setempat alias beroperasi secara gelap tetapi tergolong besar. Tetapi Astiti tidak perduli, mau gelap kek terang benderang kek kalau yang namanya sarang maksiyat tetap saja berdosa, dan sampai saat ini Astiti tidak pernah dan tidak akan mau melihat atau melewati gang sebelah. Ihh Astiti bergidik... Naudzubillahi min dzalik.

"Ada apa dek..kok melamun terus sih...udah selesai belum membongkar kotaknya ?" Teguran mas Iwan membuyarkan lamunan Astiti. "Hhemmm...mana bisa beres sih mas dalam waktu singkat" jawab Astiti dengan ogah-ogahan. "Yaaa..mana bisa cepat selesai kalau sama ngelamun begitu...ada yang bisa di bantu dek..?" tanya Iwan ramah. "Banyak sih kalau mau bantu..... itu kotak-kotak di ruang tamu sama sekali belum aku bongkar, kotak yang sudah dibongkarpun belum sempat aku bereskan " Jawab Nastiti agak meninggi..entah karena letih atau hatinya kurang sreg tinggal di rumah baru ini. "Ya sudah sini biar mas bantu..pokoknya tanggung beres deh.." Iwan menyahut dengan sabarnya. Memang kalau Astiti sudah terlihat bersungut-sungut terus pertanda hatinya diliputi perasaan kesal dan kalau sudah begitu Iwan tidak akan menanggapi...percuma kalaupun ditanggapi pun nantinya akan meletuplah pertikaian-pertikaian kecil.

Walaupun sudah sepekan mereka boyongan ke rumah baru tersebut, tetapi Astiti masih malas membongkar kardus-kardus barang dan segera merapihkannya. Bahkan ada bebrapa kardus memang sengaja tidak di bongkar olehnya. Karena Astiti berharap kepindahan di rumah ini tidak akan lama. Dan ia berharap Iwan segera dipindah lagi tugas kantornya ataupun kalau tidak mereka menemukan rumah kontrakan lagi yang lebih indah lingkungannya.

Enggan pula Astiti untuk melakukan silaturahim dengan tetangga kanan kirinya. Pikirnya percuma saja diajak menuju kebajikanpun susah akan berhasil. Alhasil selama ini Astiti hanya mengurung diri dan anak-anaknya di dalam rumah saja. Pertama yang ia takutkan adalah banyaknya "virus-virus" yang akan menggerayangi anak-anaknya, apalagi Abdullah sudah berusia 3 tahun dan Ahmad 1 tahun akan mudah sekali meniru apa yang dilihat dan didengar Entah apa omongan para tetangga yang beredar Astiti tidak mau tahu. Bahkan Astiti pun melarang mbok Yem khadimat yang telah menemaninya semenjak ia anak-anak untuk tidak bergaul terlalu dekat dengan tetangga sekitar.

Semenjak Astiti kecil memang dilahirkan dalam lingkungan yang bersih, dan tidak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya tinggal di daerah seperti ini. Masa kanak-kanaknya dihabiskan di lingkungan pesantren, karena Ayahnya termasuk pengajar pesantren. Kemudian ketika menginjakkan kakinya di bangku perguruan tinggi, teman-temannya banyak sekali orang-orang yang aktif dalam kajian keislaman dan Astitipun meleburkan diri dalam aktifitas tersebut. Bahkan setelah menikah dengan Iwan tempat tinggalnya tak jauh dari pusat pendidikan Islam yang besar sehingga lingkungan sekitarnya banyak sekali para keluarga Islami yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut. Jadi selama ini Astiti selalu tinggal di daerah yang bersih dan terisolasi dari virus yang merusak iman.
*******

Siang itu Astiti pulang dari belanja dan seperti biasanya ia naik mikrolet. Ketika turun dari mikrolet tiba-tiba terdengar celetukan orang dari dalam. "Ehh..nggak nyangka pake jilbab turunnya di warung mang Dirun.." Deg...Asititi terhenyak mendengar celetukan salah seorang penumpang di mikrolet. Ternyata warung mang Dirun tempat berkumpulnya para pemuda berandalan itu terkenal akan kejelekannya. Perasaan Astiti jadi tak menentu.Sesampai dirumah ia menangis menjadi-jadi. Semakin tak betahlah Astiti tinggal di daerah ini. Kesal juga ia tujukan kepada Iwan suaminya, mengapa begitu teganya memilihkan tempat tinggal di lingkungan ini untuk keluarganya. Malam hari sepulang Iwan pulang dari kantor, Astiti menguraikan perasaan yang menggumpal di dadanya. "Mas...kok begitu tega memilihkan tempat tinggal di daerah ini buat kita" tanya Astiti "Emangnya..kenapa to dek..dek..bukannya dimanapun di Bumi Allah itu sama" timpal Iwan " Lho bagaimana sih Mas Iwan ini, lha dekat tempat maksiyat kok ya di jadikan alternatif tempat tinggal...emang nggak ada tempat kontrakan lagi yang lebih baik.." "Ada sih dek tapi itu di perumahan elite seberang jalan, kalau dek Asti mau tinggal di sana gaji Mas nggak cukup..maaf ya dek" canda Iwan. "Mas Iwan sih enak, pergi pagi ke kantor pulang sudah menjelang maghrib, sedangakan aku... mas yang disini sepanjang hari sudah tidak betah melihat berbagai kemaksiyatan di depan mata" Astiti semakin kesal saja dengan Iwan yang masih bisa bercanda padahal ia sudah gondok sekali. "Sebenarnya sebelum Mas putuskan untuk memilih tempat tinggal disini, sudah putar kesana kemari mencari kontrakan. Ada yang di gang samping kiri itu rumahnya kecil sekali hanya ada satu kamar tetapi kontrakannya 2 kali lipat di sini. mas juga heran dek mengapa harga kontrakan rumah ini begitu murah.. Menurut pak RT, karena yang menempati rumah sebelum kita ditemukan bunuh diri dengan gantung di pohon mangga di pekarangan. Hemm apa itu yang membuat dek Asti takut tinggal disini..."tukas mas Iwan "Masya Allah mas...biarpun ada seratus demit, jin dan sebangsanya mengganggu kita ..Insya Allah aku nggak takut mas.." "Bener nih.." selidik mas Iwan. "Rasulullah kan bersabda apabila hendak mencari tempat tinggal, kita juga harus melihat tetangga kiri kanan alias kita juga harus memperhatikan lingkungannya.." timpal Astiti. "Lalu de Asti mau apa...mau pindah, atau mau tinggal di rumah bapak ..." tanya Iwan dengan sabarnya. Astiti terdiam seribu bahasa. "ya..memang idealnya rumah yang akan ditempati memang seperti demikian. Tetapi kalau kondisinya seperti ini bagaimana dek...Lagian Mas sudah membayar uang kontrakan selama setahun, sayang khan kalau kita sudah keburu pindah.."Iwan menjelaskan. Astiti tetap berdiam saja. "Sabar dulu ya dek...Insya Alloh ini merupakan ujian bagi kita. Dimanapun juga kita tinggal yang namanya ujian itu pasti ada dari Alloh. Nah itu artinya kita sebagai orang beriman karena Alloh mendatangkan ujian buat hambanya..." jelas Iwan, "Tinggal bagaimana kita bisa melaksanakan ujian ini atau tidak, artinya kita dapat tinggal di daerah ini tanpa kita teracuni, dan yang terpenting bagaimana kita dapat ber'amar ma'ruf nahi munkar terhadap tetangga.."

Kalau sudah begini Astiti sudah tidak dapat mengelak lagi argumen Iwan, karena yang dikatakannya memang ada benarnya. Tinggal bagaimana Astiti menterjemahkan kata sabar dalam kehidupannya sekarang ini. memang benar-benar harus sabar karena tidak terdengar suara adzan Duhur , Asar serta isya', sebagai gantinya terdengar nyanyian musik dangdut. Hanya terdengar adzan Maghribdi surau yang amat sangat kecil dan jarang dipenuhi jamaah.
******

Siang ini terjadi sebuah insiden kecil di dapur Astiti. Rupanya mbok Yem terburu-buru memasukkan minyak di dalam kompor dan minyak berceceran kemana-mana, sehingga ketika akan dipakai kompor tersebut meledak dan menimbulkan suara keras. Astiti yang baru saja menyelesaikan shalat duhur di kamar menjadi panik. Ia langsung menyambar Ahmad dan Abdullah yang sedang tertidur lelap. Mereka berdua merupakan kekayaan yang paling berharga buatnya di dunia ini. Dan segera memerintahkan mbok Yem segera pergi. Terlihat tangan mbok Yem sebelah kiri agak melepuh. mungkin sedikit terkena jilatan api. Keluar rumah Astiti langsung berteriak minta tolong, segeralah berdatangan para tetangga untuk menolongnya. Sedangkan dari arah warung mak dirun, para pemuda yang biasanya berkongkouw-kongkouw langsung masuk ke rumah Astiti, sekitar lima belasan orang pemuda masuk dan segera membantu memdamkan api yang menjilat dapur Astiti. Tampak semangat sekali mereka. Ada yang mengambil air di sumur, ada yang menyemprotkan air dari keran, ada yang mengambil pasir untuk disebarkan ke arah api.

Sedangkan Astiti bersama dua anaknya dan mbok Yem berada di rumah mbak Marni tetangga sebelahnya. Mbak Marni mengambilkan air putih untuk Astiti, dan mbak Lastri tetangganya pula membantu meredakan tangis Ahmad yan kaget melihat kejadian di rumah nya. "Bu Iwan...sabar ya bu...ini air putih ayo diminum dulu, ayo mbok Yem di minum juga " suruh mbak Marni. "Terima kasih ya mbak Marni" ucap Astiti lirih. Pada saat genting seperti ini Ia hanya pasrah kepada Allah saja. "Bu..kalau api belum bisa padam nanti bisa tidur di rumah saya saja, kasihan anak-anak" ajak mbak Marni. Astiti hanya bisa mengiyakan, di dalam hatinya hanya berdoa agar api tidak menjalar kemana-mana.

Suasana jalan di rumahnya, siang ini benar-benar ramai sekali. Tetangga-tetangga Astiti bahu membahu memadamkan api yang ada di rumah Astiti. Alhamdulillah tidak sampai setengah jam api berhasil di padamkan, berkat kerja keras para warga dan juga bantuan pemuda-pemuda itu yang berani memadamkan api sehingga jilatannya hanya sampai dapur saja. Itupun hanya daerah di sekitar kompor saja yang terkena, barang-barang lain di dapur dapat diselamatkan.
******

Kejadian siang itu, telah membuka hati Astiti. Ternyata para pemuda yang selama ini amat dibencinya, telah membantu keluarganya untuk memadamkan api. Ternyata mbak Marni tetangga sebelah rumah, yang bekerja pada malam hari, dan sempat membuat Astiti menjadi tak suka telah banyak membantunya. Ternyata mbak Lastri, mbak Mur, mbak Rini yang sering berdandan menor juga membantu Astiti dengan suka rela. Ternyata bu Dedeh, bu Jali, bu Anom yang sering terlihat oleh Astiti ngerumpi di mana-mana mambantunya pula....
Dari kejadian ini Astiti segera tersadar bahw sebenarnya mereka pada dasarnya adalah orang-orang yang baik, tetapi mungkin tidak ada yang mengarahkan jadilah masyarakat seperti ini. Selama ini ternyata ber amar ma'ruf nahi munkar yang Astiti terima hanya sebatas konsep-konsep belaka dan belum pernah dipratekkan dalan kehidupan sehari-harinya.

Kemudian segera Astiti mendiskusikan dengan Iwan suaminya bagaimana cara-cara berdakwah di lingkungan seperti ini. Tentu saja Iwan senang sekali mendengar penuturan dan semangat Astiti. Akhirnya mereka berdua membagi tugas, stiti mencoba mendekati para ibu dan anak-anak sedangakan Iwan mencoba mendekati para pemudanya. Di sela-sela kesibukan yang menumpuk, mereka berdua mencoba mengimplementasikan konsep dakwah yang pernah dipelajari.

Pertama-tama yang dilakukan Astiti adalah mencoba mendekati anak-anak kecil. Astiti mengundang sekitar 30an anak -anak seusia 4 tahun sampai 7 tahun dengan alasan syukuran.Dibuatkan kantng-kantong kecil berisi permen dan biskuit. Permainan anak-anak yang meriah di pekarangan rumahnya yang cukup luas dibuatnya. Kalau sudah begini Astiti bersyukur sekali mempunyai pekarangan rumah yang cukup luas.Setelah capai bermain, anak-anak diajaknya berkumpul untuk dicoba mengetahui hafalan surat dan sedikit pengetahuan tentang agama. Cukup shock juga Astiti terhadap anak-anak seusia tersebut ternyata tidak hafal dengan surat Al Fatihah. Tetapi lagu-lagu dangdut mereka cukup fasih melantunkannya.

Sekarang kalau sore hari, anak-anak banyak yang bermain di pekarangan rumah Astiti. Sekarang mereka tidak takut terhadap sosok Astiti, yang menurut mereka dahulu terlihat amat galak. Astiti tersenyum sendiri. Lama-lama anak-anak yang suka bermain di pekarangan rumah diajak untuk shalat Maghrib berjamaah dengannya, tentu saja hal ini merupakan sesuati yang baru bagi anak-anak itu. Tetapi mereka menyambut dengan senang. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mengaji.

Semakin lama jumlah anak-anak yang sering menyemarakkan rumah Astiti bertambah. Kalau dulu hanya sekitar 10 orang, sekarang berjumlah sekitar 25an anak. Kadang Astiti semakin kewalahan karena banyaknya. Dan ia sekarang dipanggil ibu Haji oleh anak-anak itu, ia hanya meng amin kan mudah-mudahan terkabul cita-cita mulia ini.

Sambutan positif ternyata juga bergaung pada ibu anak-anak tadi. Ibu-ibu di lingkungan ini ada yang meminta tolong agar Astiti mengajarkan membaca Alquran. Tentu saja kesempatan emas ini tidak disia-siakan olehnya. Tersebutlah nama mbak Marni, mbak Lastri, mbak Mur, bu Dedeh, bu Anom dan ibu- ibu lainnya menyemarakkan rumah Astiti untuk belajar membaca Alqur'an dan juga di selingi oleh Astiti untuk mengajarkan Islam.

Iwanpun tak ketinggalan pula dalam mencoba beramar ma'ruf nahi munkar. Para pemuda yang sering berleha-leha di ujung jalan sering pula bertandang ke rumah.Mereka salut terhadap Iwan, karena Iwan yang berpendidikan tinggi mau bertutur sapa dengan mereka yang rata-rata pemuda putus sekolah dan pengangguran.

Sekarang pun jarang dijumpai para pemuda-pemuda itu ber mabuk-mabukan. Tetapi suara musik yang mereka nyanyikan kadang masih terdengar. Tetapi itupun pada hari Sabtu malam saja. Kini mereka dikoordinir oleh Iwan untuk mengerjakan suatu ketrampilan tertentu yang dapat menambah penghasilan. Jamaah di surau pun mulai ramai. Iwan berusaha menghidupkan aktifitas di surau tua itu. Sekarang suara adzan pun terdengar lima waktu berkumanadang.

Memang untuk merubah sesuatu secara frontal tidak semudah membalikkan tangan, tetapi butuh pengorbanan yang besar terutama kesabaran.Astiti dan Iwan berusaha untuk memutihkan daerah mereka yang dahulu hitam. Tentunya banyak juga halangan yang menimpa mereka. Tetapi mereka tetap optimis karena Allah lah yang menyertai mereka.

Ada lagi harapan dan cita-cita Astiti..yaitu mencoba memutihkan gang sebelah dengan lokalisasinya.Yaa tentunya cita-cita mulia ini Insya Allah akan ditegakkannya. Namun memang butuh waktu untuk itu semua. Allah akan bersama mereka...............

Telegram-Button

buku tamu

hubungi kami

untuk servis maupun jasa pasang dapat menghubungi kontak

admin : fery sumanto

telp. : 0821-3566-2249
wa : 0821-3566-2249

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.