“Assalamu’alaikum Farin…” seseorang menepukku dari belakang. Seorang wanita rupanya, ialah pemilik suara itu.
“Wa’alaikumsalam… eh Nabila, ada apa ya?” tanyaku agak heran karena jarang sekali kami mengobrol.
“Eh,
enggak, nanti kamu ada acara enggak hari Minggu ini? Rencananya aku dan
beberapa teman akan mengadakan pertemuan halaqah gabungan gitu di
fakultas, dan mengajak para remaja lainnya… bagaimana?”
Kulihat
dari matanya, ada sedikit keragu-raguan dari cara pandang yang sayu itu.
Matanya memang terlihat seperti itu sejak aku mengenalnya. Bukan, bukan
sayu yang sebenarnya, melainkan seperti ada sesuatu yang amat lembut
yang memancar dari cara dia menatap. Entah, belum pernah aku lihat cara
pandang mata yang seperti itu dari teman-temanku yang lain.
“Ehm,
hari Minggu yah? Sepertinya enggak ada acara deh, halaqah? Itu acara apa
yah?” tanyaku yang baru pertama kali mendengar kata “halaqah”.
“Hm,
halaqah itu suatu perkumpulan remaja muslim, biasanya dibina oleh
murabbi yang sudah biasa menjadi musyrif di kelompok-kelompok halaqah
lainnya…”
“Aduhh, aku makin enggak ngerti deh kamu ngomong apa
barusan? Musyrik? Bukannya itu orang kafir yah?” pertanyaanku semakin
ngawur bersamaan dengan banyaknya kosakata baru yang tadi kudengar dari
Nabila.
Ia tersenyum menanggapi pertanyaanku yang mungkin serasa lucu didengarnya.
“Insya
Allah kamu akan tahu apa itu halaqah saat kamu menghadiri acaranya hari
minggu, datang ya… afwan, aku duluan, sudah azan…” sudah Ashar rupanya.
Dia melambaikan tangannya mengajak aku ikut ke masjid kampus, senyumnya
pun belum juga lepas dari wajah manisnya itu, telunjukku refleks
membalas menunjuk ke laptop yang sedang aku pakai dan jam tanganku.
Sibuk, itu maksud isyarat tanganku. Aku akan shalat, tapi bukan
sekarang.
Nabila adalah temanku satu jurusan di fakultas.
Kebetulan kami teman sekelas. Nabila adalah seorang aktivis dakwah di
salah satu organisasi kampus. Namanya sudah tidak asing lagi di
fakultas, karena eksistensinya di kalangan mahasiswa yang dapat
mengobarkan semangat berjihad. Itu menurut temanku.
Aku sendiri
baru mengenalnya beberapa minggu lalu. Awalnya aku pun tidak tertarik
untuk mengetahui tentangnya, namun ternyata takdir mempertemukanku.
Ibuku merupakan teman satu kuliah dengan ibunya Nabila. Tiga minggu yang
lalu, ibu secara tidak sengaja bertemu dengan bu Ratna, nama ibu
Nabila. Mau tak mau, aku pun mengenalnya.
Meskipun saling kenal,
kami tak pernah sekalipun saling sapa. Aku agak risih juga jika bersama
orang yang sangat fanatik tentang Islam. Kebanyakan dari temanku yang
fanatik itu, berani dengan angkuhnya mengekslusifkan diri. Merasa sudah
benar menjadi manusia yang taat, padahal minum saja terkadang masih
berdiri.
Akhirnya hari Minggu mendatangiku. Aku izin ke ibu.
Kukatakan yang sebenarnya. Entah sebab apa, ibu terlihat senang sekali
saat aku bilang akan menghadiri perkumpulan halaqah. Ternyata ibu selama
ini memang menghadapkanku untuk mengikuti kegiatan tersebut. Siapa yang
tahu, jika ibu tidak pernah mengatakan?
Aku diantar oleh bang
Sabiq, kakakku satu-satunya. Enak juga punya kakak yang bisa diandalkan,
pikirku. Abang sabiq mengantarkanku sampai ke depan gerbang kampus. Aku
sedikit terburu-buru sesaat setelah pamit dan salim ke bang Sabiq,
takut terlambat.
Mungkin acara baru saja dimulai saat aku datang. Aku masih bisa mendengar sayup-sayup
mc
yang baru saja membuka acara dengan ucapan salam. Aku segera melihat
sekeliling yang sudah ramai dipenuhi para wanita berjilbab lebar-lebar,
jilbaber sebutannya.
Akhirnya kami memasuki ke acara inti. Terus
terang, baru kuketahui bahwa acara halaqah nyaris mirip dengan acara
diskusi yang biasa aku lakukan di kampus. Bedanya hanya pada adanya
murabbi atau pembimbing di dalam sebuah halaqah. Mungkin kegiatan
seperti ini bisa aku teruskan, toh tidak ada salahnya menambah ilmu.
Tidak
terasa sudah sebulan aku mengikuti kegiatan halaqah ini. Lama-kelamaan
aku mulai malu mengenakan jilbab yang sangat standar dibandingkan
teman-teman yang lain di halaqah. Aku mulai mencoba mengenakan jilbab
yang agak lebar. Namun rasa malu terhadap pandangan teman-teman atas
perubahanku ini masih aku rasakan.
Hingga di suatu pagi selepas
shalat subuh berjamaah ada seorang perempuan sekelasku mengajak ngobrol,
Indah namanya. Awalnya kami mengobrol biasa saja hingga aku melepas
mukenaku dan dia agak sedikit terperangah juga melihat jilbabku yang
lebar itu. Tanpa memikirkan perasaanku dia berkata
“Ih Rin, kamu kenapa sih, ko berubah seperti ini?”
Wajahnya
menunjukkan ketidaksukaan sekaligus kaget. Belum sempat aku menjawab,
ia sudah meneruskan rentetan kata-kata lagi. Ini yang paling
menyakitkan.
“Kalau seperti ini, sama saja kamu tuh menjiplak si Nabila, tahu enggak!”
“Ya
bukan seperti itu niatnya, aku cuma ingin menjadi lebih baik saja. Toh
aku mengetahui bahwa seharusnya wanita itu lebih menjaga…”
“Ya tapi enggak nyaris mirip seperti Nabila juga kan? Kamu tuh jadi seperti ngikutin Nabila tahu enggak!”
Mungkin
seketika aku ingin berkata seharusnya dia menyaring kata-katanya
sebelum berkata demikian. Percakapan itu masih berlanjut.
“Bukan seperti itu niatku… aku seharusnya memulai ini dari dulu… memangnya kamu tidak suka dengan perubahanku ini?”
Pertanyaanku agak sedih. Ternyata teman dekatku yang aku pikir akan mendukungku justru menjadi cobaan buatku.
“Iyalah, masa Farin yang dulu aku kenal, jadi plagiat seperti ini sih?”
Dia masih menunjukkan rasa yang amat tidak suka. Aku hanya tertunduk sambil membalas kata-katanya.
“Kenapa
seperti itu ndah? Aku pikir kamu akan mendukung perbaikanku ini,
ternyata malah sebaliknya. Kalau kamu berpikir demikian, ternyata aku
harus lebih dulu berdakwah untuk temanku, yaitu kamu. Bukan untuk orang
lain dulu.”
“Ya sudah, yang pasti kamu itu menjiplak si Nabila. Aku enggak suka dengan plagiat!”
Indah
pergi meninggalkanku. Ia tidak peduli padaku yang sudah sendiri di
dalam masjid kampus. Hatiku panas, sakit sekali rasanya. Ternyata memang
susah untuk mempertahankan perubahan yang baik ini. Yang aku sayangkan
adalah cobaan itu datang kepadaku melalui teman dekatku. Mengapa harus
dia yang mengatakannya ya Allah…
Minggu pagi itu Indah
meninggalkanku. Biasanya kami selalu jalan-jalan pagi selepas shalat
subuh setiap minggu. Kebetulan kami satu organisasi dan sering menginap
di kampus untuk mengejar deadline tugas. Namun tidak pagi ini. Aku tak
dapat menahan air mataku karena menahan marah dan juga kecewa terhadap
kata-kata indah.
“Ya Allah, kenapa justru cobaan itu datang dari temanku sendiri….?”
Aku terus berdoa dan memohon untuk tetap selalu istiqamah dalam dakwah ini.
Di suatu siang, aku sedang berdiskusi dengan Nabila.
“Nabila, aku ingin menanyakan satu pertanyaan kepadamu, boleh?” tanyaku agak segan bertanya kepadanya.
“Boleh, ingin bertanya tentang apa?”
“Tentang
keistiqamahan kamu… kamu pernah tidak mengalami kesulitan saat kamu
mengenakan jilbab yang sangat lebar itu? Maksudnya, pernah tidak ada
orang yang tidak suka dengan penampilanmu yang seperti ini? Dan satu
lagi, mengapa kamu sampai bisa beristiqamah hingga detik ini?”
Nabila tersenyum dan mengambil napas beberapa detik.
“Pernah…
dulu, sewaktu aku SMA, ada guru olahraga yang terlihat sangat tidak
suka terhadap apa yang aku pakai saat pelajaran olahraga. Aku memakai
kaos lagi di dalam baju olahragaku yang pendek itu. Niatku Cuma satu,
yaitu menutupi bagian tubuhku yang tidak tertutupi oleh baju olahraga.
Namun sepertinya guru itu tidak suka. Mungkin baginya aku telah berbuat
tidak sopan terhadap mata pelajarannya. Guru itu selalu tidak pernah
menganggapku ada setiap kali pelajarannya. Hingga aku pun bertanya
kepada ummiku, bagaimana caranya menanggapi seseorang yang tidak suka
terhadap kita… ummi mengatakan bahwa kita harus tetap tersenyum kepada
siapapun, entah orang itu menyukai ataupun membenci kita. Jangan pernah
membenci orang lain… Minggu demi minggu aku selalu menanggapi setiap
tanggapan orang lain dengan tersenyum, hingga akhirnya guru itupun
menjadi ramah terhadapku. Mungkin ia berpikir, bukan suatu kesalahan
bahwa anak didiknya ada yang ingin lebih menjaga sesuatu yang
dimilikinya…”
“Subhanallah… lalu, mengapa kamu bisa sampai istiqamah sampai detik ini?”
“Niatanku hanya satu, yaitu Allah Ta’ala…”
“Maksudnya?” aku tak mengerti.
“Niatku
untuk tetap istiqamah adalah aku ingin menjadi muslimah sejati yang
hanya mencintai Allah. Aku ingin menjadi muslimah terbaik di hadapan
Allah. Hanya itu….”
“Subhanallah,”
Hanya kalimat itu yang
menghiasi lisanku. Aku baru sekali ini menemui seorang perempuan yang
memiliki niat tulus yang sangat suci. Perjuangan selanjutnya adalah
keistiqamahanku dalam menghadapi berbagai ujian yang akan Allah berikan
padaku. Aku juga ingin menjadi muslimah terbaik untuk Allah. Karena
bagiku, ini adalah jalan untuk meniti rasa cinta kepada Allah. Aku
yakin, barang siapa memudahkan urusan Allah, maka Allah pun akan
mempermudah urusannya. Wallahu’alam.