Meluruskan Hukum Rebounding

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Di tangan-Nya lah hidayah dan petunjuk. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman. 

Beberapa waktu yang lalu kita disuguhkan dengan berita dari media mengenai permasalahan rebounding. Suatu saat seorang wanita menanyakan kepada ayahnya mengenai hukum rebounding. Ayahnya pun yang sudah masyhur sebagai ulama di negeri ini mengiyakan bolehnya rebounding. Namun, bagaimana hukum rebounding sebenarnya? Semoga bermanfaat pembahasan ringkas berikut ini.


Merujuk Fatwa Ulama

Ulama besar Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya:
Beberapa pelajar yang berambut halus (lurus) menjadikan rambutnya keriting dengan cara yang sudah dikenal di tengah-tengah mereka. Apa hukum perbuatan semacam ini padahal diketahui bahwa hal ini sering dilakukan oleh orang barat?

Jawab: Para ulama mengatakan bahwa perbuatan mengkriting rambut itu tidak mengapa, artinya asalnya boleh saja. Asalkan mengkriting rambut tersebut tidak menyerupai model wanita fajir dan kafir, maka tidaklah mengapa. [Sumber: Fatawa Al Jaami’ah lil Mar’ah Al Muslimah (3/889)][1]

Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan hafizhohullah (salah satu anggota Komisi Fatwa di Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’) juga pernah ditanya mengenai hukum taj’id ar ro’si. Yang dimaksud di sini adalah mengkriting rambut atau membuatnya lebih keriting. Keriting tersebut bertahan beberapa waktu. Terkadang wanita yang ingin mengkriting rambutnya ini pergi ke salon-salon dan menggunakan bahan atau alat tertentu sehingga membuat rambut tersebut keriting sampai enam bulan.

Jawab: Diperbolehkan bagi wanita untuk mengkriting rambutnya asalkan tidak mengikuti model orang kafir. Syarat lainnya, ia tidak boleh menampakkan rambutnya tadi kepada para pria selain mahromnya. Ia boleh mengkriting rambutnya dengan bantuan wanita lain yang dapat dipercaya. Keriting rambut tersebut boleh bertahan sebentar atau dalam waktu yang lama. Ia boleh menggunakan bahan yang mubah (dibolehkan) atau selainnya untuk mengkriting rambut tersebut. Namun catatan yang perlu diperhatikan, hendaklah wanita tersebut tidak pergi ke salon untuk melakukan hal ini. Karena jika ia mesti keluar rumah, itu akan menimbulkan fitnah (godaan bagi para pria) atau ia akan terjerumus dalam hal yang dilarang. Pekerja salon boleh jadi adalah wanita yang tidak paham agama (sehingga tidak dapat dipercaya dan dapat membuka aibnya, pen), atau bahkan lebih parah lagi jika pekerjanya adalah seorang pria, jelas-jelas ia haram untuk menampakkan rambutnya pada mereka.[2]

Rebounding Itu Haram Bagi Wanita yang Tidak Berjilbab

Dari penjelasan kedua ulama besar di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa mengkriting rambut asalnya dibolehkan. Ini berlaku pula untuk rebounding (membuat rambut keriting menjadi lurus/halus). Namun ada catatan yang mesti diperhatikan:

Pertama: Keriting dan rebounding tersebut tidak boleh mengikuti model wanita kafir atau wanita fajir (yang gemar maksiat).

Kedua: Yang boleh mengkriting rambut atau merebounding adalah wanita yang dapat dipercaya sehingga tidak akan membuka aib-aibnya. Lebih-lebih tidak boleh lagi jika yang mengkriting rambutnya adalah seorang pria yang ia haram menampakkan rambut pada mereka.

Ketiga: Rambut yang dikeriting atau direbounding tidak boleh ditampakkan kecuali pada suami atau mahromnya saja.

Sehingga dari sini, wanita yang tidak berjilbab tidak boleh merebounding rambut atau mengkeriting rambutnya karena tujuan ia yang haram yaitu ingin pamer rambut yang merupakan aurat yang wajib ditutupi. Asalnya, memang mengkeriting atau merebounding itu dibolehkan namun karena tujuannya untuk pamer aurat yaitu rambutnya, maka ini menjadi haram. Ada sebuah kaedah yang sering disampaikan para ulama: al wasa-il ilaa haroomin haroomun (perantara menuju perbuatan haram, maka perantara tersebut juga haram).  Pamer aurat adalah haram. Rebounding bisa dijadikan jalan untuk pamer aurat. Sehingga berdasarkan kaedah ini rebounding pada wanita yang pamer aurat (enggan berjilbab) menjadi haram.

Bahaya Pamer Rambut yang Merupakan Aurat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[3]

Di antara tafsiran “wanita yang berpakaian tetapi telanjang” adalah wanita tersebut membuka aurat yang wajib ditutupi[4] seperti membuka rambut kepala. Padahal aurat wanita yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Berarti rambut kepala termasuk aurat yang wajib ditutup. Allah

Ta’ala berfirman,
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur: 31).
Berdasarkan tafsiran Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Atho’ bin Abi Robbah, ‘Ikrimah, Makhul Ad Dimasqiy, dan Al Hasan bin Muhammad Al Hanafiyah rahimahumullah bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.[5]

Lihatlah ancaman untuk wanita yang sengaja buka-buka aurat: Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.

Rambut kepala juga merupakan perhiasan wanita yang wajib ditutupi. Allah Ta’ala berfirman,

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[6]

Dari sini, sungguh sangat aneh jika ada yang menghalalkan rebounding untuk wanita yang ingin pamer aurat?!
Semoga para wanita muslimah selalu diberi taufik oleh Allah untuk memiliki sifat malu. Sifat inilah yang akan mengantarkan mereka pada kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.[7]

Semoga Allah memberi taufik untuk memperhatikan dan mengamalkan aturan yang telah Allah gariskan. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan sore hari, di Panggang-Gunung Kidul, 3 Rabi’ul Awwal 1431 (bertepatan dengan 17 Februari 2010)


[1] Diambil dari link http://www.islam-qa.com/ar/ref/20149
[2] Sumber: http://www.islamway.com/?iw_s=Fatawa&iw_a=view&fatwa_id=7812
[3] HR. Muslim no. 2128, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
[4] Lihat Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031, Darun Nasyr, 1418 H, Asy Syamilah
[5] Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14, Maktabah Al Iman, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[6] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/133, Mawqi’ Al Islam.
[7] HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.

Berjilbab Dulu atau Memperbaiki Hati Dulu?

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Bapak ustadz yang terhormat, Saya ingin bertanya perihal jilbab. Saya mempunyai seorang teman yang bertanya mengenai jilbab. Ia ingin menggunakan jilbab akan tetapi ia bingung apakah harus siap dan memperbaiki hati terlebih dahulu sebelum memakai jilbab atau langsung aja memakai jilbab dan urusan hati sambil berjalan?
Terima Kasih,
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Fahru


Jawaban: 

Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulilahi Rabbil ‘alamin, wash-shalatu was-salamu ‘alaa Sayyidina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihihi ajma’in, wa ba’du.
Antara hati dan perbuatan sebenarnya sama-sama penting, sehingga tidak perlu dipilih mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Lagi pula, sulit untuk menilai urusan hati atau membuat standarisasinya. Kalau alasan belum mau pakai jilbab karena hatinya ingin diberesi dulu, sebenarnya agak mengada-ada. Sebab siapa yang akan menilai bahwa hati seseorang sudah bersih dan baik? Dan bagaimana cara menilainya? Lalu sampai kapankah hatinya sudah bersih dan siap untuk pakai jilbab?

Sebenarnya kewajiban memakai jilbab tidak pernah mensyaratkan seseorang harus bersih dulu hatinya. Kewajiban itu langsung ada begitu seorang wanita muslimah masuk usia akil baligh. Dan satu-satunya tanda bahwa dia sudah wajib memakai jilbab adalah tepat ketika dia mendapat haidh pertama kalinya. Saat itulah dia dianggap oleh Allah SWT sudah waktunya untuk memakai jilbab. Tidak perlu menunggu ini dan itu, karena kewajiban itu sudah langsung dimulai saat itu juga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada anak wanita Abu Bakar ra, Asma’ binti Abu Bakar ra.

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Asma’, seorang wanita bila telah haidh maka tidak boleh nampak darinya kecuali ini dan ini. Rasulullah SAW memberi isyarat kepada wajah dan tapak tangannya.”
Rasulullah SAW tidak mengatakan bahwa bila sudah bersih hatinya, atau bila sudah baik perilaku atau hal-hal lain, namun secara tegas beliau mengatakan bila sudah mendapat haidh. Artinya bila sudah masuk usia akil baligh, maka wajiblah setiap wanita yang mengaku beragama Islam untuk menutup auratnya. Dan uaratnya itu adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tapak tangan.

Ketentuan ini juga diperkuat dengan firman Allah SWT di dalam Al-Quran Al-Kariem tentang kewajiban memakai kerudung yang dapat menutupi kepala, rambut, leher dan dada.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya… (QS. An-Nur : 31)

Namun bukan berarti kalau sudah pakai kerudung, boleh berhati jahat atau buruk. Tentu saja seorang wanita muslimah harus berhati baik, berakhlaq baik dan berperilaku yang mencerminkan nilai keimanan dirinya. Tapi semua itu bukan syarat untuk wajib pakai jilbab. Sebab keduanya adalah kewajiban yang tidak saling tergantung satu dengan yang lainnya.

Wallahu A’lam Bish-shawab
Wassalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.

kupinang engkau dengan hamdallah

Oleh : M. Faudzil `Adhim

Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah, ialah diciptakannya pasangan-pasanganmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung padanya. Dan Allah menjadikan di antara kalian perasaan tenteram dan kasih sayang. Pada yang demikian ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.

Ketika tiba masa usia aqil baligh, maka perasaan ingin memperhatikan dan diperhatikan lawan jenis begitu bergejolak. Banyak perasaan aneh dan bayang-bayang suatu sosok berseliweran tak karuan. Kadang bayang-bayang itu menjauh tapi kadang terasa amat dekat. Kadang seorang pemuda bisa bersikap acuh pada bayang-bayang itu tapi kadang terjebak dan menjadi lumpuh. Perasaan sepi tiba-tiba menyergap ke seluruh ruang hati. Hati terasa sedih dan hidup terasa hampa. Seakan apa yang dilakukannya jadi sia-sia. Hidup tidak bergairah. Ada setitik harapan tapi berjuta titik kekhawatiran justru mendominasi.

Perasaan semakin tak menentu ketika harapan itu mulai mengarah kepada lawan jenis. Semua yang dilakukannya jadi serba salah. Sampai kapan hal ini berlangsung? Jawabnya ada pada pemuda itu sendiri. Kapan ia akan menghentikan semua ini. Sekarang, hari ini, esok, atau tahun- tahun besok. Semakin panjang upaya penyelesaian dilakukan yang jelas perasaan sakit dan tertekan semakin tak terperikan. Sebaliknya semakin cepat / pendek waktu penyelesaian diupayakan, kebahagiaan & kegairahan hidup segera dirasakan. Hidup menjadi lebih berarti & segala usahanya terasa lebih bermakna.

Penyelesaian apa yang dimaksud? Menikah! Ya menikah adalah alat solusi untuk menghentikan berbagai kehampaan yang terus mendera. Lantas kapan? Bilakah ia bisa dilaksanakan? Segera! Segera di sini jelas berbeda dengan tergesa- gesa. Untuk membedakan antara segera dengan tergesa- gesa, bisa dilihat dari dua cara :

Pertama, tanda-tanda hati. Orang yang mempunyai niat tulus, kata Imam Ja’far, adalah dia yang hatinya tenang, sebab hati yang tenang terbebas dari pemikiran mengenai hal-hal yang dilarang, berasal dari upaya membuat niat murni untuk Allah dalam segala perkara. Kalau menyegerakan menikah karena niat yang jernih, Insya Allah hati akan merasakan sakinah, yaitu ketenangan jiwa saat menghadapi masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kita merasa yakin, meskipun harapan & kekhawatiran meliputi dada. Lain lagi dengan tergesa-gesa. Ketergesaan ditandai oleh perasaan tidak aman & hati yang diliputi kecemasan yang memburu.

Kedua, tanda-tanda perumpamaan. Ibarat orang bikin bubur kacang hijau, ada beberapa bahan yang diperlukan. Bahan paling pokok adalah gula & kacang hijau. Jika gula & kacang hijau dimasukkan air kemudian direbus, maka akan didapati kacang hijau tidak mengembang. Ini namanya tergesa-gesa. Kalau gula baru dimasukkan setelah kacang hijaunya mekar ini namanya menyegerakan. Tapi kalau lupa, tidak segera memasukkan gula setelah kacang hijaunya mekar cukup lama orang akan kehilangan banyak zat gizi yang penting.

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah bersabda : “Tiga orang yang selalu diberi pertolongan Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar & seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya” (HR Thabrani)

Banyak jalan yang dapat menghantarkan orang kepada peminangan & pernikahan. Banyak sebab yang mendekatkan dua orang yang saling jauh menjadi suami istri yang penuh barakah & diridhai Allah. Ketika niat sudah mantap & tekad sudah bulat, persiapkan hati untuk melangkah ke peminangan. Dianjurkan, memulai lamaran dengan hamdalah & pujian lainnya kepada Allah SWT. Serta Shalawat kepada Rasul-Nya. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda : “Setiap perkataan yang tidak dimulai dengan bacaan hamdalah, maka hal itu sedikit barakahnya (terputus keberkahannya)” HR Abu Daud, Ibnu Majah & Imam Ahmad.

Setelah peminangan disampaikan, biarlah pihak wanita & wanita yang bersangkutan untuk mempertimbangkan. Sebagian memberikan jawaban segera, sebelum kaki bergeser dari tempat berpijaknya, sebab menikah mendekatkan kepada keselamatan akhirat, sedang calon yang datang sudah diketahui akhlaqnya, sebagian memerlukan waktu yang cukup lama untuk bisa memberi kepastian apakah pinangan diterima atau ditolak, karena pernikahan bukan untuk sehari dua hari.
Apapun, serahkan kepada keluarga wanita untuk memutuskan. Mereka yang lebih tahu keputusan apa yang terbaik bagi anaknya. Anda harus husnudzan pada mereka. Bukankah ketika meminang wanita berarti anda mempercayai wanita yang diharapkan oleh anda beserta keluarganya.
Keputusan apapun yang mereka berikan, sepanjang didasarkan atas musyawarah yang lurus, akan baik dan Insya Allah memberi akibat yang baik bagi anda. Tidak kecewa orang yang istikharah & tidak merugi orang yang musyawarah. Maka apapun hasil musyawarah, sepanjang dilakukan dengan baik, akan membuahkan kebaikan. Sebuah keputusan tidak bisa disebut buruk atau negatif, jika memang didasarkan kepada musyawarah yang memenuhi syarat, hanya karena tidak memberi kesempatan kepada anda untuk menjadi anggota keluarga mereka. Jika niat anda memang untuk silaturrahim, bukankah masih tersedia banyak peluang untuk menyambung?
Anda telah meminangnya dengan hamdalah, anda telah dimampukan datang oleh Allah Yang Maha Besar. Dia-lah Yang Maha Lebih Besar. Semuanya kecil. Ada pelajaran yang sangat berharga dari Bilal bin Rabbah tentang meminang. Ketika ia bersama Abu Ruwaihah menghadap kabilah Khaulan, Bilal mengemukakan : “Jika pinangan kami anda terima, kami ucapkan Alhamdulillah. Dan kalau anda menolak, maka kami ucapkan Allahu Akbar.” Maka, kalau pinangan yang anda sampaikan ditolak, agungkan Allah, semoga anda tetap berbaik sangka kepada Allah & juga kepada keluarganya. Sebab bisa jadi, penolakan merupakan jalan pensucian jiwa dari kedzaliman diri sendiri, bisa jadi penolakan merupakan proses untuk mencapai kematangan, kemantapan & kejernihan niat. Sementara ada banyak hal yang dapat mengotori niat. Bisa jadi Allah hendak mengangkat derajat anda, kecuali anda justru malah merendahkan diri sendiri. Tapi hati perlu diperiksa, jangan-jangan perasaan itu muncul karena ujub.
Kekecewaan, mungkin saja timbul. Barangkali ada perasaan yang perih, barangkali juga ada yang merasa kehilangan rasa percaya diri saat itu. Ini merupakan reaksi psikis yang wajar, kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi ia harus diperlakukan dengan cara yang tepat agar ia tidak menggelincirkan ke jurang kenistaan yang sangat gelap. Kecewa memang pahit. Orang sering tidak tahan menanggung rasa kecewa, mereka berusaha membuang jauh-jauh sumber kekecewaan. Sekilas nampak tidak ada masalah, tetapi setiap saat berada dalam kondisi rawan. Perasaan itu mudah bangkit lagi dengan rasa sakit yang lebih perih. Dan yang demikian tidak dikehendaki Islam. Islam menghendaki kekecewaan itu menghilang perlahan-lahan secara wajar. Sehingga kita bisa mengambil jarak dari sumber kekecewaan dengan tidak kehilangan obyektivitas & kejernihan hati, kita menjadi lebih tegar, meskipun proses yang dibutuhkan untuk menghapus kekecewaan lebih lama.

Kalau anda merasa kecewa, periksalah niat anda. Dibalik yang dianggap baik, mungkin ada niat yang tidak lurus. Periksalah motif-motif yang melintas dalam batin. Selama peminangan hingga saat menunggu jawaban. Kemudian biarkan hati memproses secara wajar sampai menemukan kembali ketenangan secara mantap.
Tetapi kalau jawaban yang diberikan oleh keluarga wanita sesuai harapan, berbahagialah sejenak. Bersyukurlah. Insya Allah kesendirian yang dialami dengan menanggung rasa sepi sebentar lagi akan menghapus kepenatan selama di luar rumah. Insya Allah sebentar lagi.

Tunggulah beberapa saat. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk melakukan apa saja yang menjadi hak anda bersamanya. Akan tiba masanya anda merasakan kehangatan cintanya. Kehangatan cinta wanita yang telah mempercayakan kesetiaannya kepada anda. Setelah tiba masanya, halal bagi anda untuk menemukan pangkuannya ketika anda risau.

Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati. Melalui pernikahan Allah memberikan banyak keindahan & kemuliaan. Wanita boleh menawarkan Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat & ikhtiar untuk menikah. Nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Dan Khadijah r.a atas teladan bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri.

Sikap menawarkan diri menunjukkan ketinggian akhlaq & kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah & untuk mendapatkan pahala-Nya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan & mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang maslahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah & tidak memiliki kehormatan, kecuali sekedar apa yang disangkanya sebagai kebaikan.

Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah SAW dan berkata : “Ya Rasulullah! Apakah baginda membutuhkan daku?” Putri Anas yang hadir & mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri & rasa malu, “Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan.” Anas berkata kepada putrinya : “Dia lebih baik darimu, Dia senang kepada Rasulullah SAW lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau!” (HR Bukhari).
Sumber : dudung.net

menikahi wanita hamil

6 Hal Penting Tentang Hamil di Luar NikahAlhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du

Menikahi wanita hamil, ada beberapa kemungkinan:

Pertama, menikahi wanita yang hamil karena zina
Ada dua kemungkinan untuk bagian pertama ini:

1. Wanita tersebut hamil karena berzina dengan lelaki lain.

pernikahan semacam ini batal, karena para lelaki dilarang melakukan hubungan dengan wanita yang hamil dengan mani orang lain.

Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air maninya pada tanaman orang lain.” (HR. Ahmad 16542)

Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang lain.
Ancaman dalam hadis ini menunjukkan larangan

2. Orang yang menikahi si wanita adalah lelaki yang menzinainya

Pendapat yang kuat dalam hal ini, wanita tersebut tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang menghamilinya, karena janin yang ada pada wanita ini disebabkan air mani yang haram, sehingga janin itu bukan anaknya, meskipun berasal dari air maninya.

 Dalam fatwa Lajnah Daimah dinyatakan,

“Jika ada wanita yang hamil karena zina maka dia tidak boleh dinikahkan dengan lelaki yang menzinainya maupun lelaki lainnya, sampai si wanita melahirkan. Karena rahimnya sedang ada isinya, berupa janin yang tidak boleh dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, tidak pula kepada orang lain, tetapi dia dinasabkan ke ibunya. Lelaki pezina tidak diberi nasab hasil zinanya,
 sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘anak itu milik yang punya kasur (suami), sementara lelaki yang berzina terhalang.’” (Fatwa Lajnah Daimah, 21:46).

Keterangan tentang ini, telah dibahas di http://www.konsultasisyariah.com/6-hal-penting-tentang-hamil-di-luar-nikah/

Kedua,

menikahi wanita hamil yang berpisah dengan suaminya
wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, baik karena cerai maupun ditinggal mati suaminya, wajib menjalani masa iddah. Masa iddah untuk wanita hamil adalah sampai melahirkan. Allah berfirman,

Para wanita hamil, masa iddahnya sampai mereka melahirkan.” (QS. At-Thalaq: 4)

Dengan demikian, menikahi wanita hamil yang berpisah dari suaminya, sejatinya sama dengan menikahi wanita di masa iddah. pernikahan yang dilakukan di masa iddah ini termasuk pernikahan yang terlarang, dan statusnya batal.
Allah berfirman,

Dan janganlah kamu berazam (bertekadi) untuk melakukan akad nikah, sampai masa iddah telah  habis.” (QS. Al Baqarah: 235).

Al-Fairuz Abadzi asy-Syafii menyebutkan,

“Tidak boleh menikahi wanita yang menjalani masa ‘iddah setelah berpisah dari suaminya, berdasarkan firman Allah pada ayat di atas, dan mengingat adanya masa ‘iddah adalah untuk menjaga nasab. Jika kita membolehkan nikah pada masa tersebut, tentu akan bercampurlah nasab dan tujuan nikah pun menjadi sia-sia.” (al-Muhadzab beserta syarh, 16:240).

Salah satu diantara tujuan nikah adalah memperjelas nasab manusia.

Ketiga

menikahi istri yang sedang hamil

Sebagai contoh kasus, ada seorang suami yang menceraikan istrinya ketika hamil satu bulan. Setelah sang suami menyesali perbuatannya, dia ingin kembali lagi ke istrinya.bagaimana hukumnya?

Ada beberapa keadaan untuk menjawab kasus ini,
Jika cerai yang dijatuhkan sang suami belum cerai tiga, maka dia masih punya hak untuk rujuk. Dan ketentuan rujuk ini hanya berlaku jika istri belum melahirkan janinnya. Kaitannya dengan ini, istilah yang lebih tepat untuk kasus di atas bukan menikah, tapi rujuk. Karena selama istri masih menjalani masa iddah, suami punya hak untuk rujuk, tanpa harus akad nikah.

Cerai yang dijatuhkan sang suami belum cerai tiga, namun istri sudah melahirkan bayinya. Dalam kondisi ini, suami tidak punya hak untuk rujuk, hanya saja dia bisa kembali ke istrinya dengan jalan menikah ulang. Artinya, dalam acara itu harus ada akad nikah baru, wali, saksi, dan suami wajib memberi mahar.
Jika cerai yang dijatuhkan suami adalah cerai yang ketiga maka suami tidak punya hak untuk rujuk, juga tidak boleh nikah lagi dengan istrinya, karena sudah 3 kali cerai. Selanjutnya sang istri menjalani masa iddah di tempat yang terpisah dari suaminya, sampai dia melahirkan. Setelah melahirkan, dia menjadi wanita tanpa suami, sehingga boleh menerima pinangan lelaki lain.

Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

menikahi korban perkosaan


pemerkosanJika ada lelaki yang tertarik dengan seorang wanita karena parasnya, namun setelah proses kenalan, ternyata dia pernah diperkosa. Bolehkah menikah dengannya?

Jawaban:
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,

Sebagai muslim, kita merasa sangat terpukul mendengar berbagai berita tentang pemerkosaan, baik yang terjadi di negara kita maupun di luar negeri. Terlebih steelah bertubi-tubi, media masa membahas berbagai kasus yang menyedihkan ini. Apapun itu, selayaknya ini bisa menjadi pelajaran bagi kita, betapa sempurnanya prinsip ajaran jilbab dan anti aurat yang didengungkan oleh Islam. Para wanita yang memiliki tabiat suci, akan bisa merasakan kebanggaan ketika mereka bisa membungkus dirinya dengan pakaian yang syar’i.

Namun corong-corong liberal tidak tinggal diam. Mereka melakukan gerakan sebaliknya.
 Atas nama feminisme dan kebebasan, mereka berusaha menelanjangi kaum hawa. Dilakoni para artis dan didukung media liberal, terwujudlah komunitas yang sama sekali tidak mengenal batas ambang aurat.
 Diakui maupun tidak, mereka memiliki saham besar atas terjadinya kasus pemerkosaan dan merebaknya zina
Kita berharap, semoga Allah menyelamatkan kita tapi tipu daya syahwat di akhir zaman.


Terkait korban pemerkosaan ada beberapa catatan yang bisa kita perhatikan:

Pertama, wanita yang diperkosa, yang telah berusaha melawan pelaku, dan bukan karena dasar kerelaan, sama sekali tidak menanggung dosa kejadian itu. Karena dia dalam kondisi dipaksa. Sementara orang yang dipaksa, tidak mendapatkan dosa, sekalipun itu perbuatan kekafiran. Allah berfirman,

Orang yang kufur kepada Allah setelah dia beriman (maka dia mendapat ancaman) kecuali orang yang dipaksa, sementara hatinya masih yakin dengan iman..” (QS. An-Nahl: 106).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah menghilangkan beban dosa dari umatku, yang dilakukan karena tidak sengaja, karena lupa, atau karena dipaksa.” (HR. Ibnu Majah 2033 dan dishahihkan al-Albani).

Untuk itu, hukum asal wanita korban perkosaan sama dengan wanita suci pada umumnya. Dia layaknya seorang gadis yang sedang dirundung musibah besar dalam hidupnya.

Kedua, lelaki muslim yang baik, dibolehkan menikahi wanita korban kasus perkosaan, sebagaimana menikahi wanita pada umumnya. Karena perkosaan bukanlah penghalang untuk menikah. Terlebih jika sang wanita, sejatinya adalah sosok yang baik dan berusaha menjaga kehormatannya. Sehingga sikap yang perlu dikedepankan adalah sikap husnu zhan (berbaik sangka).

Ketiga, mengingat, secara status sosial masyarakat, kasus perkosaan telah dianggap menurunkan derajat sang wanita, sehingga kehadiran lelaki yang melamarnya seolah berstatus sebagai penutup aibnya. Menjadi pelipur duka baginya, dan harapan baru bagi hidupnya. Jika semua ini menjadi latar belakang sang lelaki ketika menikahinya, insya Allah dia mendapatkan pahala dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Siapa yang melepaskan kesulitan yang dialami seorang muslim, maka Allah akan melepaskan kesulitan yang dia alami pada hari kiamat. Dan siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat, jika sang lelaki telah rela untuk menikahi wanita korban perkosaan maka haram baginya untuk menyebut-nyebut aibnya. Terutama ketika terjadi masalah keluarga. karena itu, jaga lisan, jaga hati. Jika Anda sudah bersedia di awal, lupakan segala kejadian yang telah Anda relakan. Jangan sampai Anda ungkit-ungkit kenangan masa silam yang menyedihkan, karena semua itu akan menjadi masalah baru bagi Anda dan keluarga.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammmi Nur Baits (Dewan Pembina
sumber:konsultasi syariah dot com

ditolak calon mertua karena tidak suka tahlilan


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjTt1nODO_9rXLQegOf2J6PWexQjObfRSAUG-25CWrNZgLhRH-AVqenIKPVmC7d_5Q0cCjPAGSwTMFnhs79kE6sAb72ySO_yLdfU2pcQ58sANPwchjyLaEoJ-1sObPO54hMcQu1DxBynTs/s260/under-construction.jpgAssalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam ukhuwah pak ustadz.
Saya mempunyai teman akhwat berusia 20 tahun dan rencana saya ingin melamar akhwat tersebut, karena memang sejak pertama kenal tujuan saya adalah menikah, bukan pacaran.
Akan tetapi, tujuan saya mendapat kendala dari pihak orang tua si akhwat.Orang tua si akhwat tidak merestui saya, karena saya tidak suka “TAHLILAN”.
Apakah saya salah bila saya dan dosa bila tidak melaksanakan tahlilan pak ustadz? Saya bingung harus berbuat apa dan bagaimana meluluhkan hati calon mertua saya.
 Padahal, kami ingin segera menikah karena memang itulah hal yg terbaik dalam agama Islam. Apakah sah bila kami menikah dengan mengambil wali selain orang tua si akhwat misalnya, kakek, paman atau saudara dari pihak orang tua si akhwat yang mau merestui hubungan kami? Mohon solusinya pak ustadz? Jazakumullah khairan.

Jawaban: 

Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh. 

Jazakumullahu khairan atas kepercayan antum menyampaikan pertanyaan kepada saya… Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan segala kebaikan bagi antum dalam semua urusan agama dan dunia…

Tahlilan hukumnya haram dilaksanakan, karena termasuk perbuatan bid’ah [semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya, semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka.” [HSR. Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45)]

Maka, dengan alasan apapun antum tidak boleh melakukan perbuatan ini, bahkan sekalipun orang tua kandung yang menyuruh melakukannya, apalagi hanya calon mertua.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan (kepada makhluk) dalam perbuatan maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (baik).” (HSR. Bukhari, 6/2649 dan Muslim, 3/1469).

Maka, bersabarlah dan banyak berdoa kepada Allah agar Dia membukakan pintu hati orang tua akhwat tersebut dan mau menikahkan kalian.
Banyak-banyak beramal shalih dan bertobat kepada Allah supaya Dia memudahkan penyelesaian terbaik dalam semua masalah yang antum hadapi.

Adapun masalah mengambil wali selain orangtuanya, maka semua itu yang memutuskan adalah pihak pemerintah, dalam hal ini pihak KUA. Antum sampaikan pada mereka permasalahan antum dengan jelas kemudian, nanti mereka yang memutuskan apakah menasihati orang tua akhwat tersebut atau mengambil keputusan mencabut hak perwaliaanya… Yang jelas, masalah-masalah besar seperti ini hendaknya di tangani oleh pemerintah, sebagai wujud ketaatan kita kepada pemerintah.

Terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa batasilah hubungan antum dengan akhwat tersebut, karena bagaimanapun kalian belum menikah dan fitnah (godaan) setan sangat besar, apalagi bagi orang-orang yang sudah dekat hubungannya seperti kalian berdua. Bertakwalah kepada Allah dengan bersabar dan meninggalkan hubungan-hubungan yang tidak halal, termasuk sms-an, telpon, dan lain-lain, karena merupakan sarana kepada perbuatan haram. Mungkin, dengan sebab meninggalkan semua ini Allah akan mudahkan jalan keluar terbaik untuk kalian berdoa.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kalian berdua dalam semua kebaikan.

Dijawab oleh Ustadz Abdullah Taslim, M.A
Dipublikasikan kembali oleh KonsultasiSyariah.com

Urutan Wali Nikah


nikah siriBagaimanakah urutan yang benar dalam wali nikah itu?
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,

Hubungan status wali nikah ada lima:

  1. Bapak dan silsilah keluarga diatasnya, mencakup ayah, kakek dari bapak dan seterusnya ke atas.
  2. Anak dan sisilsilah anggota keluarga dibawahnya, mencakup anak, cucu, dan seterusnya ke bawah.
  3. Saudara laki-laki.
  4. Paman dari pihak bapak.
  5. Wala’ (orang yang membebaskan dirinya dari perbudakan atau mantan tuan).
Jika ada beberapa orang yang berasal dari jalur hubungan yang sama (misalnya ada bapak dan kakek) maka didahulukan yang kedudukannya lebih dekat (yaitu bapak). Barulah kemudian beberapa orang yang kedudukannya sama, misalnya antara saudara kandung dengan saudara sebapak, maka didahulukan yang lebih kuat hubungannya, yaitu saudara kandung. (Syarhul Mumthi’, 12: 84)

Al-Buhuti mengatakan, “Lebih didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) dalam menikahkannya. Alasannya, karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling kasih sayang kepada putrinya. Setelah itu, orang yang mendapatkan wasiat (wakil) dari bapaknya (untuk menikahkan putrinya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelahnya adalah kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. Ini berdasarkan hadis dari Ummu Salamah, bahwa setelah masa iddah beliau berakhir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk melamarnya. Ummu Salamah mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorangpun dari waliku yang ada di sini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorangpun diantara walimu, baik yang ada di sini maupun yang tidak ada, yang membenci hal ini.” Ummu Salah mengatakan kepada putranya, “Wahai Umar, nikahkanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar pun menikahkannya. (HR. Nasa’i). Selanjutnya (setelah anaknya), adalah saudaranya sekandung, kemudian saudara sebapak, kemudian anak saudara laki-laki (keponakan) dan seterusnya ke bawah. Didahulukan anak dari saudara sekandung dari pada saudara seayah. Setelah itu barulah  paman (saudara bapak) sekandung, kemudian paman (saudara bapak) sebapak, anak lelaki paman (sepupu dari keluarga bapak). Selanjutnya adalah orang yang memerdekakannya (dari perbudakan). Jika semua tidak ada maka yang memegang perwalian adalah hakim atau orang yang mewakili (pegawai KUA resmi).
Sumber: Ar-Raudhul Murbi’, hal. 335 – 336

Keterangan:
  1. Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perwalian dari pihak ibu atau saudara perempuan. Seperti kakek dari ibu, paman dari ibu, saudara se-ibu, sepupu dari keluarga ibu, atau keponakan dari saudara perempuan.
  2. Ayah tiri tidak bisa menjadi wali.
Wajib memperhatikan urutan perwalian dalam nikah

Wali wanita yang berhak untuk menikahkan seseorang adalah wali yang paling dekat, sebagaimana urutan yang disebutkan di atas.
Tidak boleh mendahulukan wali yang jauh, sementara wali yang dekat masih ada ketika akad nikah
Ibn Qudamah mengatakan, “Apabila ada wali yang lebih jauh menikahkan seorang wanita, sementara wali yang lebih dekat ada di tempat, kemudian si wanita bersedia dinikahkan, sementara wali yang lebih dekat tidak mengizinkan maka nikahnya tidak sah. Inilah pendapat yang diutarakan as-Syafi’i…. karena wali yang jauh tidak berhak, selama wali yang dekat masih ada, sebagaimana hukum warisan (keluarga yang lebih jauh tidak berhak, selama masih ada keluarga yang lebih dekat).” (Al-Mughni, 7: 364)

Al-Buhuti mengatakan, “Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 336)
Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/150788

Contoh kasus:

1. Anak perempuan dari hasil hubungan zina
Anak dari hasil hubungan zina tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali nikahnya?

 Orang yang mungkin bisa menjadi wali nikahnya adalah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu dinasabkan kepada suami yang sah sedangkan laki-laki yang berzina itu tidak dapat apa-apa.” (HR Bukhari no 6760 dan Muslim no 1457 dari Aisyah).

Berdasarkan hadist tersebut maka anak dinasabkan kepada suami yang sah. Jika tidak ada suami yang sah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Oleh karena itu, anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak di nasabkan kepada bapak biologisnya namun kepada ibunya.

Hal ini disebabkan nabi mengatakan bahwa laki-laki yang berzina tidak memiliki hak apa-apa pun terhadap hak nasab, perwalian dalam nikah, mewarisi, kemahraman ataupun kewajiban memberikan nafkah kepada anak, semuanya tidaklah dimiliki oleh laki-laki yang berzina (baca: bapak biologis). Akan tetapi bapak biologis ini tidak diperbolehkan menikahi anak hasil zinanya menurut pendapat mayoritas ulama dan inilah pendapat yang benar.

Berdasarkan penjelasan di atas maka bapak biologis tersebut tidak berhak menikahi anak perempuan hasil zinanya. Bahkan anak perempuan tersebut tidaklah memiliki wali untuk pernikahannya sehingga berlakulah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah” (HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani).

Untuk negeri kita yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adalah petugas kantor urusan agama (KUA).


Demikian pula bapak biologis tidak memiliki hak waris jika anak hasil zinanya meninggal dunia terlebih dahulu dan meninggalkan warisan. Demikian pula sebaliknya, anak tidak berhak mendapatkan harta warisan peninggalan bapak biologisnya.
[Konsultasi dari Majalah Swara Qur'an]
Sumber: ustadzaris.com

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak itu dinasabkan kepada suami yang sah sedangkan laki-laki yang berzina itu tidak dapat apa-apa.” (HR Bukhari no 6760 dan Muslim no 1457 dari Aisyah).
Berdasarkan hadits tersebut maka anak dinasabkan kepada suami yang sah. Jika tidak ada suami yang sah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Oleh karena itu, anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak di nasabkan kepada bapak biologisnya namun kepada ibunya.
Hal ini disebabkan nabi mengatakan bahwa laki-laki yang berzina tidak memiliki hak apa-apa pun terhadap hak nasab, perwalian dalam nikah, mewarisi, kemahraman ataupun kewajiban memberikan nafkah kepada anak, semuanya tidaklah dimiliki oleh laki-laki yang berzina (baca: bapak biologis). Akan tetapi bapak biologis ini tidak diperbolehkan menikahi anak hasil zinanya menurut pendapat mayoritas ulama dan inilah pendapat yang benar.
Berdasarkan penjelasan di atas maka bapak biologis tersebut tidak berhak menikahi anak perempuan hasil zinanya. Bahkan anak perempuan tersebut tidaklah memiliki wali untuk pernikahannya sehingga berlakulah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ
“Penguasa adalah wali nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nikah.” (HR Abu Daud no 2083 dan dinilai shahih oleh al Albani).
Untuk negeri kita yang dimaksud dengan penguasa dalam hal ini adalah petugas kantor urusan agama (KUA).

Demikian pula bapak biologis tidak memiliki hak waris jika anak hasil zinanya meninggal dunia terlebih dahulu dan meninggalkan warisan. Demikian pula sebaliknya, anak zina tidak berhak mendapatkan harta warisan peninggalan bapak biologisnya.
[Konsultasi dari Majalah Swara Qur'an]
Sumber: ustadzaris.com



2. Wanita yang orang tuanya dan semua keluarganya non muslim

Diantara syarat perwalian adalah keasamaan dalam agama. Orang anak tidak berhak menjadi wali bagi wanita muslimah. Dalam kondisi semacam ini, yang bisa menjadi wali anak adalah pejabat KUA.
Allahu a’lam.

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Telegram-Button

buku tamu

hubungi kami

untuk servis maupun jasa pasang dapat menghubungi kontak

admin : fery sumanto

telp. : 0821-3566-2249
wa : 0821-3566-2249

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.