Apa yang ada dalam pikiran kamu ketika membaca judul ini? Hmm.. mungkin ada yang memahami: “bahwa pacaran memang diajarkan, sehingga ya wajar banyak yang pacaran.” Sebagian yang lain berpikir, “Ooh.. pacaran itu diajarkan, jadi boleh-boleh saja melakukannya.” Selain itu ada lagi nggak? Opsi lainnya ini kayaknya nih: “karena pacaran diajarkan, maka memang itulah realitanya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, nggak perlu merasa khawatir dipermasalahkan. Toh, udah biasa dong ya.” BTW, kamu pilih jawaban yang mana dari ketiga pilihan tadi? Atau mungkin kamu punya jawaban sendiri ya. Baiklah. Kita langsung saja geber membahas masalah ini.
Bro en Sis, gaulislam edisi pekan ke 163 ini sengaja membahas tentang PACARAN. Tentu ada alasannya. Ketika saya ikut nyebarin gaulislam edisi cetak ke sekolah-sekolah. Eh, diralat, bukan ikut nyebarin, tapi nyebarin langsung. Kalo ikut kan berarti bareng teman-teman yang lain hehehe.. Iya, soalnya pekan kemarin kru distribusi pada nggak bisa semua. Ada yang kerja, ada yang lagi nyari kerjaan. Jadinya, editornya langsung deh yang turun tangan. Tapi, ada hikmahnya. Jadi seru obrolan bersama para guru di beberapa sekolah lho. Gini ceritanya.
Salah satunya ngobrol bareng Pak Solihin (lha ini emang namanya sama dengan saya, cuma emang beda ruh dan jasadnya, hehehe). Beliau adalah pengajar di SMKN 1 Bogor. Seru banget ngobrol sama beliau (bukan karena namanya sama dengan saya lho, tapi emang nyambung aja gitu). Nah, satu obrolan dengan beliau yang kemudian menjadi inspirasi saya dalam menulis artikel gaulislam edisi pekan ini adalah tentang pacaran.
Beliau menyayangkan dan juga mengeluhkan dengan banyaknya sikap remaja yang sudah menganggap BIASA dalam pergaulannya dengan lawan jenisnya. Sederhananya, pacaran atau gaul bebas sudah dianggap sebagai budaya tersendiri karena banyak yang melakukannya. Pacaran diajarkan dalam film, di sinetron, dalam iklan, dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah ada yang pacaran, di jalan-jalan raya banyak pelajar cowok-cewek yang gandengan tangan. Pulang sekolah jalan berdua nggak punya tujuan. Persis kayak truk gandengan nggak bawa muatan. Runtang-runtung nggak jelas juntrungan. Apalagi kalo pada bokek semua. Jadinya cuma jalan-jalan doang nggak pake acara jajan (backsound: jadi inget lagunya Iwan Fals yang 22 Januari itu, lho. Tapi diplesetkan dikit: “Jalan bergandengan tak pernah jajan-jajan”. Wakakakak…)
Obrolan kami santai dan cair. Karena sudah saling mengenal. Selain sering ketemu pas anter gaulislam untuk jatah SMKN 1 Bogor, juga saya beberapa kali mengisi acara talkshow remaja di sana. Seru lah pokoknya. Dari sini saya tambah yakin, bahwa mengemban amanah dakwah ini memang berat. Nggak semua orang mau dan sanggup melakukannya. Dakwah, bukan saja amar ma’ruf alias menyeru kepada kebaikan, tapi harus dilengkapi dengan nahi munkar (mencegah kemungkaran). Idealnya begitu. Tapi, biasanya kalo udah nahi munkar, kita kadang berani kadang tidak. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Para guru di sekolah tidaklah cuek. Mereka juga tetap menjalankan amanahnya dalam mendidik dan membina murid-muridnya. Tapi, memang tugasnya perlu dibantu pihak lain. Mudah-mudahan keberadaan gaulislam bisa menjadi tandem dakwah yang keren di sekolah-sekolah. Ibarat dalam sepakbola, harus kompak antar pemain di semua lini. Kiper, bek, pemain sayap, dan striker. Kalo nggak kompak, main bola nggak seru. Permain sebagus apapun nggak bisa menjebol gawang lawan tanpa kerjasama. Tapi kalo udah kerjasamanya bagus, buktinya Irfan Bachdim dkk bisa membawa Indonesia menghabisi Malaysia dalam laga AFF Suzuki Cup 2010 pekan kemarin, dengan skor telak 5-1. Laos juga diterkam Firman Utina dkk dengan 6-0. Gooool! Gooool! (lho, kok jadi ngomongin sepakbola sih? Hehehe)
Ok. Sekarang balik lagi ke topik tentang pacaran. Saat ini, pacaran udah dianggap sebagai jalan suci menjalin kasih di antara para remaja. Tak sedikit pasangan yang sudah mengikat janji setia di antara mereka. Sepertinya, setelah mendapatkan status sebagai pacarnya si anu, seorang remaja berhak memamerkannya kepada teman lainnya dan ada kewajiban menjaga pasangannya. Minimal ngajak jalan-jalan dan ada waktu khusus ketemuan. Malah ada yang dikunjungi secara rutin (idih, WC kaleee).
Pacaran sehat, tetap maksiat
Obrolan dengan Pak Solihin masih berlanjut. Beliau mencontohkan bahwa ada anak sekolah yang ketika ditanya kenapa pacaran, jawabannya: “kami kan pacarannya sehat, Pak”. Weleh-weleh… udah bisa berdalil rupanya teman kita ini. Sehat menurut siapa? Lagian standar sehat dan nggak sehatnya apa sih? Kok kayaknya gampang banget mengklaim bahwa yang dilakukannya adalah pacaran sehat?
Mungkin, yang dimaksud pacaran sehat menurut para remaja yang mengklaimnya adalah: tanpa seks. Okelah, seks bebas atau berzina memang berbahaya dan dosa. Itu nggak sehat menurut syariat. Tapi, apa ada jaminan kalo orang yang pacarannya nggak sampe ngeseks bisa terus bertahan? Nggak juga kok. Sebab, kalo dilakukan PNDK alias Penelusuran Nafsu Dan Kekuatan, banyak remaja yang nggak tahan menahan nafsu. Justru karena nafsu makin kuat kalo udah ada kesempatan. Betul? Jadinya, yang tadinya “baik-baik” pun, berubah jadi “biadab” dan berperilaku bak hewan. Dasar bajigur! Naudzubillah min dzalik.
Maklum, soal nafsu dan kekuatan emang bisa mengalahkan akal sehat dan juga keimanan. Sebab, ketika keimanan yang cuma nyangkut di KTP itu, setan pun getol bergerilya dan menaburkan jerat-jerat dan mengobarkan hawa nafsu kepada mereka yang imannya kendor. Kalo udah gitu, setan tinggal jejingkrakan sambil diriingi irama kesesatan karena udah berhasil menjerumuskan manusia ke jurang nista karena akal sehat dan imannya terkubur hawa nafsu.
Benar adanya firman Allah Swt. (yang artinya): “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan-nya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jaatsiyah [45]: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah Swt. menegaskan bahayanya zina. Seperti dalam firmanNya (yang artinya): “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa [17]: 32)
Bukti lain bahwa pacaran ini bisa menjerumuskan pelakunya kepada kemaksiatan yang lebih jauh lagi, yakni berzina, bisa dilihat dari maraknya pemberitaan di media massa. Banyak remaja putri yang dihamili pacarnya. Ada sih cowoknya yang kemudian menikahinya tapi nggak sedikit yang kabur sambil menghilangkan jejak. Bahkan pernah ada juga yang kirim SMS ke redaksi gaulislam untuk curhat soal itu dimana dirinya menurut pengakuannya via SMS udah nggak perawan lagi. Itu terjadi gara-gara pacaran yang memang akan berujung jadi kebablasan itu. Duh, pokoknya kasihan deh. Jadi, jangan coba-coba pacaran ya. Nggak sehat dan emang melanggar syariat.
Nikmat sesaat, sengsara selamanya
Rugi! Ya, rugi banget dan rugi berat kalo kita cuma ngejar kenikmatan sesaat tapi sengsara selamanya. Mereka yang terkategori gawat darurat dalam urusan parahnya mengendalikan hawa nafsu sering berbuat nekat. Hubungan seks yang cuma legal dilakukan sepasang suami-istri ternyata mereka berani melakukannya juga dengan pacarnya. Waduh, ini kan sangat berbahaya. Kalo nafsu udah di ubun-ubun, mereka suka lupa dengan norma apalagi dosa.
Ah, ini namanya nafsu kenceng, keimanan blong. Ya, susah ngeremnya. Duh, kondisi ini terasa kian berat bagi kita. Sebab, setiap tarikan napas kita sudah bercampur debu kemaksiatan. Mau nonton televisi, tayangan yang banyak muncul justru yang “gersang” alias “seger” merangsang. Mau baca tabloid, majalah, koran, juga kita rasanya pengen muntah karena disuguhi menu yang “itu-itu” aja. Utamanya di tabloid dan majalah “esek-esek”. Nyaris nggak ada pilihan bagi kita. Menurut Walter Lippman, bisa diistilahkan sebagai “pictures in our head”. Sebab, semua gambaran informasi itu ada di manapun dan diberikan dengan penguatan pesan seolah-olah itu benar dan harus diikuti. Informasi itu terbentuk di kepala setiap orang karena disampaikan secara gencar dan rutin di berbagai media massa. Gawat! Jadi, karena semuanya begitu, maka jangan salahkan pembaca dan pemirsa 100 persen, bila kemudian mereka berperilaku bejat. Para pengelola acara televisi, radio, internet dan pengelola bisnis majalah, koran, dan juga tabloid kudu bertanggung jawab juga (eh, negara juga dong).
Oke deh, hati-hati dengan pacaran ini. Lebih enak dan benar emang menikah. Kenapa? Karena dalam ikatan pernikahan yang sah kamu boleh sesukanya bermesraan dengan pasanganmu tanpa kudu merasa risih. Asmara yang mekar juga sudah jelas sasarannya. Rindunya bukanlah rindu yang terlarang. Bahkan cintanya adalah cinta yang suci-bersih dan tentunya semua yang dilakukan, asal sesuai dengan tuntunan syariat, so pasti halal. Ya, halal. Jadi, kalo pacaran adalah nikmat yang membawa mudharat, sementara menikah adalah nikmat dan sesuai syariat. Pilih mana? Orang cerdas pilih taat syariat. Betul?
Mungkin di antara kamu ada yang komentar: “Lha, kita masih remaja, kan belum dibolehkan nikah?” Gini aja, jadikan info ini sebagai bekal pemahaman, dan sekarang fokus belajar dan raih cita-citamu. Setuju? Akuur…! [solihin: osolihin@gaulislam.com]
Bro en Sis, gaulislam edisi pekan ke 163 ini sengaja membahas tentang PACARAN. Tentu ada alasannya. Ketika saya ikut nyebarin gaulislam edisi cetak ke sekolah-sekolah. Eh, diralat, bukan ikut nyebarin, tapi nyebarin langsung. Kalo ikut kan berarti bareng teman-teman yang lain hehehe.. Iya, soalnya pekan kemarin kru distribusi pada nggak bisa semua. Ada yang kerja, ada yang lagi nyari kerjaan. Jadinya, editornya langsung deh yang turun tangan. Tapi, ada hikmahnya. Jadi seru obrolan bersama para guru di beberapa sekolah lho. Gini ceritanya.
Salah satunya ngobrol bareng Pak Solihin (lha ini emang namanya sama dengan saya, cuma emang beda ruh dan jasadnya, hehehe). Beliau adalah pengajar di SMKN 1 Bogor. Seru banget ngobrol sama beliau (bukan karena namanya sama dengan saya lho, tapi emang nyambung aja gitu). Nah, satu obrolan dengan beliau yang kemudian menjadi inspirasi saya dalam menulis artikel gaulislam edisi pekan ini adalah tentang pacaran.
Beliau menyayangkan dan juga mengeluhkan dengan banyaknya sikap remaja yang sudah menganggap BIASA dalam pergaulannya dengan lawan jenisnya. Sederhananya, pacaran atau gaul bebas sudah dianggap sebagai budaya tersendiri karena banyak yang melakukannya. Pacaran diajarkan dalam film, di sinetron, dalam iklan, dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah ada yang pacaran, di jalan-jalan raya banyak pelajar cowok-cewek yang gandengan tangan. Pulang sekolah jalan berdua nggak punya tujuan. Persis kayak truk gandengan nggak bawa muatan. Runtang-runtung nggak jelas juntrungan. Apalagi kalo pada bokek semua. Jadinya cuma jalan-jalan doang nggak pake acara jajan (backsound: jadi inget lagunya Iwan Fals yang 22 Januari itu, lho. Tapi diplesetkan dikit: “Jalan bergandengan tak pernah jajan-jajan”. Wakakakak…)
Obrolan kami santai dan cair. Karena sudah saling mengenal. Selain sering ketemu pas anter gaulislam untuk jatah SMKN 1 Bogor, juga saya beberapa kali mengisi acara talkshow remaja di sana. Seru lah pokoknya. Dari sini saya tambah yakin, bahwa mengemban amanah dakwah ini memang berat. Nggak semua orang mau dan sanggup melakukannya. Dakwah, bukan saja amar ma’ruf alias menyeru kepada kebaikan, tapi harus dilengkapi dengan nahi munkar (mencegah kemungkaran). Idealnya begitu. Tapi, biasanya kalo udah nahi munkar, kita kadang berani kadang tidak. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Para guru di sekolah tidaklah cuek. Mereka juga tetap menjalankan amanahnya dalam mendidik dan membina murid-muridnya. Tapi, memang tugasnya perlu dibantu pihak lain. Mudah-mudahan keberadaan gaulislam bisa menjadi tandem dakwah yang keren di sekolah-sekolah. Ibarat dalam sepakbola, harus kompak antar pemain di semua lini. Kiper, bek, pemain sayap, dan striker. Kalo nggak kompak, main bola nggak seru. Permain sebagus apapun nggak bisa menjebol gawang lawan tanpa kerjasama. Tapi kalo udah kerjasamanya bagus, buktinya Irfan Bachdim dkk bisa membawa Indonesia menghabisi Malaysia dalam laga AFF Suzuki Cup 2010 pekan kemarin, dengan skor telak 5-1. Laos juga diterkam Firman Utina dkk dengan 6-0. Gooool! Gooool! (lho, kok jadi ngomongin sepakbola sih? Hehehe)
Ok. Sekarang balik lagi ke topik tentang pacaran. Saat ini, pacaran udah dianggap sebagai jalan suci menjalin kasih di antara para remaja. Tak sedikit pasangan yang sudah mengikat janji setia di antara mereka. Sepertinya, setelah mendapatkan status sebagai pacarnya si anu, seorang remaja berhak memamerkannya kepada teman lainnya dan ada kewajiban menjaga pasangannya. Minimal ngajak jalan-jalan dan ada waktu khusus ketemuan. Malah ada yang dikunjungi secara rutin (idih, WC kaleee).
Pacaran sehat, tetap maksiat
Obrolan dengan Pak Solihin masih berlanjut. Beliau mencontohkan bahwa ada anak sekolah yang ketika ditanya kenapa pacaran, jawabannya: “kami kan pacarannya sehat, Pak”. Weleh-weleh… udah bisa berdalil rupanya teman kita ini. Sehat menurut siapa? Lagian standar sehat dan nggak sehatnya apa sih? Kok kayaknya gampang banget mengklaim bahwa yang dilakukannya adalah pacaran sehat?
Mungkin, yang dimaksud pacaran sehat menurut para remaja yang mengklaimnya adalah: tanpa seks. Okelah, seks bebas atau berzina memang berbahaya dan dosa. Itu nggak sehat menurut syariat. Tapi, apa ada jaminan kalo orang yang pacarannya nggak sampe ngeseks bisa terus bertahan? Nggak juga kok. Sebab, kalo dilakukan PNDK alias Penelusuran Nafsu Dan Kekuatan, banyak remaja yang nggak tahan menahan nafsu. Justru karena nafsu makin kuat kalo udah ada kesempatan. Betul? Jadinya, yang tadinya “baik-baik” pun, berubah jadi “biadab” dan berperilaku bak hewan. Dasar bajigur! Naudzubillah min dzalik.
Maklum, soal nafsu dan kekuatan emang bisa mengalahkan akal sehat dan juga keimanan. Sebab, ketika keimanan yang cuma nyangkut di KTP itu, setan pun getol bergerilya dan menaburkan jerat-jerat dan mengobarkan hawa nafsu kepada mereka yang imannya kendor. Kalo udah gitu, setan tinggal jejingkrakan sambil diriingi irama kesesatan karena udah berhasil menjerumuskan manusia ke jurang nista karena akal sehat dan imannya terkubur hawa nafsu.
Benar adanya firman Allah Swt. (yang artinya): “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan-nya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS al-Jaatsiyah [45]: 23)
Dalam ayat yang lain, Allah Swt. menegaskan bahayanya zina. Seperti dalam firmanNya (yang artinya): “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Israa [17]: 32)
Bukti lain bahwa pacaran ini bisa menjerumuskan pelakunya kepada kemaksiatan yang lebih jauh lagi, yakni berzina, bisa dilihat dari maraknya pemberitaan di media massa. Banyak remaja putri yang dihamili pacarnya. Ada sih cowoknya yang kemudian menikahinya tapi nggak sedikit yang kabur sambil menghilangkan jejak. Bahkan pernah ada juga yang kirim SMS ke redaksi gaulislam untuk curhat soal itu dimana dirinya menurut pengakuannya via SMS udah nggak perawan lagi. Itu terjadi gara-gara pacaran yang memang akan berujung jadi kebablasan itu. Duh, pokoknya kasihan deh. Jadi, jangan coba-coba pacaran ya. Nggak sehat dan emang melanggar syariat.
Nikmat sesaat, sengsara selamanya
Rugi! Ya, rugi banget dan rugi berat kalo kita cuma ngejar kenikmatan sesaat tapi sengsara selamanya. Mereka yang terkategori gawat darurat dalam urusan parahnya mengendalikan hawa nafsu sering berbuat nekat. Hubungan seks yang cuma legal dilakukan sepasang suami-istri ternyata mereka berani melakukannya juga dengan pacarnya. Waduh, ini kan sangat berbahaya. Kalo nafsu udah di ubun-ubun, mereka suka lupa dengan norma apalagi dosa.
Ah, ini namanya nafsu kenceng, keimanan blong. Ya, susah ngeremnya. Duh, kondisi ini terasa kian berat bagi kita. Sebab, setiap tarikan napas kita sudah bercampur debu kemaksiatan. Mau nonton televisi, tayangan yang banyak muncul justru yang “gersang” alias “seger” merangsang. Mau baca tabloid, majalah, koran, juga kita rasanya pengen muntah karena disuguhi menu yang “itu-itu” aja. Utamanya di tabloid dan majalah “esek-esek”. Nyaris nggak ada pilihan bagi kita. Menurut Walter Lippman, bisa diistilahkan sebagai “pictures in our head”. Sebab, semua gambaran informasi itu ada di manapun dan diberikan dengan penguatan pesan seolah-olah itu benar dan harus diikuti. Informasi itu terbentuk di kepala setiap orang karena disampaikan secara gencar dan rutin di berbagai media massa. Gawat! Jadi, karena semuanya begitu, maka jangan salahkan pembaca dan pemirsa 100 persen, bila kemudian mereka berperilaku bejat. Para pengelola acara televisi, radio, internet dan pengelola bisnis majalah, koran, dan juga tabloid kudu bertanggung jawab juga (eh, negara juga dong).
Oke deh, hati-hati dengan pacaran ini. Lebih enak dan benar emang menikah. Kenapa? Karena dalam ikatan pernikahan yang sah kamu boleh sesukanya bermesraan dengan pasanganmu tanpa kudu merasa risih. Asmara yang mekar juga sudah jelas sasarannya. Rindunya bukanlah rindu yang terlarang. Bahkan cintanya adalah cinta yang suci-bersih dan tentunya semua yang dilakukan, asal sesuai dengan tuntunan syariat, so pasti halal. Ya, halal. Jadi, kalo pacaran adalah nikmat yang membawa mudharat, sementara menikah adalah nikmat dan sesuai syariat. Pilih mana? Orang cerdas pilih taat syariat. Betul?
Mungkin di antara kamu ada yang komentar: “Lha, kita masih remaja, kan belum dibolehkan nikah?” Gini aja, jadikan info ini sebagai bekal pemahaman, dan sekarang fokus belajar dan raih cita-citamu. Setuju? Akuur…! [solihin: osolihin@gaulislam.com]